Kecerdasan yang bahkan orang paling pintar di antara kita akan sulit untuk membayangkan, apalagi memahami.
Ada survei tahun 2014 di mana respondennya adalah peneliti terkemuka di bidang AI. Survei tersebut menunjukkan bahwa ada kemungkinan 50 persen kecerdasan mesin setara manusia (singularitas AI) akan dicapai pada 2050.
Dari hasil survei ini, kita dapat menyimpulkan bahwa AI akan melakukan sebagian besar profesi manusia, setidaknya sebaik manusia rata-rata.
Padahal, 2014 adalah tahun awal ditemukan model jaringan syaraf buatan, dasar dari model transformer untuk Generative AI saat ini.
Jika peneliti pada tahun tersebut saja memprediksi singularitas AI akan muncul tahun 2050, bagaimana kira-kira prediksi mereka sekarang?
Rémi Coulom, seorang ilmuan data asal Perancis dan penemu AI untuk program Go (catur Cina), bahkan sempat memprediksi AI akan mengalahkan manusia dalam Go tahun 2024.
Apa yang terjadi? Dua tahun kemudian, tepatnya 2016, program komputer bernama AlphaGo berhasil mengalahkan peringkat satu Go dunia, Lee See Dol, dengan skor 4-1.
Terbaru, tahun 2022 lalu, program AI besutan Sony bahkan dapat mengalahkan beberapa pemain gim balap mobil "Gran Turismo" top global, secara konsisten.
Kembali ke pertanyaan kita sebelumnya, jika kita mencapai titik di mana AI berkembang menjadi super intelligence, apakah skenarionya lebih mirip dengan film Barbie atau Oppenheimer?
Jika kita melihat ke arah Barbie, kita mungkin membayangkan dunia super intelligence yang penuh warna-warna cerah, kreativitas tanpa batas, dan pemahaman yang lebih mendalam tentang identitas dan tujuan kita.
Seorang kritikus film, Sahifa Syifa, mengatakan bahwa Barbie adalah "satire politik yang aneh nan menarik, film yang sekaligus memuji dan mengkritik produknya, memeriksa hubungan antara ibu dan anak perempuan, menyelidiki gender dan presentasinya, serta perjalanan mencari identitas dan tujuan."
Di sisi lain, gambaran Oppenheimer mungkin sedikit lebih gelap. Pria ini, meski berkontribusi pada ilmu pengetahuan dengan penemuan bom atom, juga membuka pintu untuk potensi kerusakan dan kehancuran besar-besaran.
Namun penulis cenderung setuju dengen review dari kritikus Rachel Fefer: "Anda bisa membenci bom, seperti yang seharusnya kita semua lakukan, tetapi Anda tidak bisa membenci ilmu pengetahuannya."
Oleh karena itu, seburuk apapun skenario terburuk dari super intelligence, jangan sampai kita kemudian membenci AI. Karena skenario buruk itu masih belum muncul dan dapat kita antisipasi dengan menerapkan Responsible AI.
Baca juga: Responsible AI: Kecerdasan yang Bertanggung Jawab
Jadi, jika suatu saat kita memasuki era super intelligence, apakah kita akan melihat dunia yang penuh dengan kemungkinan dan penemuan yang membebaskan seperti Barbie? Atau justru kita akan menghadapi potensi ancaman dan destruksi seperti Oppenheimer?
Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan tersebut, namun satu hal yang pasti: super intelligence memiliki potensi untuk mengubah dunia kita, lebih baik atau lebih buruk, sama seperti Barbie dan Oppenheimer melakukannya dengan cara mereka sendiri.
Apapun itu, kita sebagai masyarakat global harus siap dan sadar akan segala kemungkinkan dan skenario.
Dengan segala keterbatasan, kita harus ikut berusaha memastikan bahwa teknologi ini dikembangkan dan digunakan dengan cara yang paling bertanggung jawab dan bermanfaat bagi semua orang.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.