Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dr. Eng. Alfian Akbar Gozali
Dosen & Manajer Pengembangan Produk TI Telkom University

Dosen Telkom University, Penulis Buku Kecerdasan Generatif Artifisial

"Barbie" dan "Oppenheimer": Dua Potensi Wajah AI Masa Depan

Kompas.com - 29/07/2023, 12:20 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEJAK pekan lalu, dunia pop kultur disibukkan dengan rilisnya "Barbenheimer," istilah yang merujuk pada dua film Amerika sangat populer namun sangat berbeda: Barbie dan Oppenheimer.

Film Barbie merupakan representasi dari boneka anak-anak yang memberikan banyak makna (atau sangat sedikit, tergantung perspektif kita) bagi gerakan feminisme Amerika dan wanita di seluruh dunia.

Sementara itu, Oppenheimer adalah film tentang pria yang bertanggung jawab atas penemuan bom atom.

Kedua film ini menghidupkan kembali momen-momen budaya, politik, dan sejarah yang telah mengubah dunia.

Hanya dari penjualan tiket global saja, keduanya mencapai lebih dari 400 juta dollar AS untuk Barbie dan 200 juta dollar AS untuk Oppenheimer.

Hal ini menunjukkan bahwa banyak orang dari berbagai negara seperti Inggris, China, India, Brasil, Jerman, termasuk Indonesia, telah menyaksikan dan memberikan kontribusi jutaan dollar AS kepada pendapatan kedua film tersebut.

Setelah menyaksikan kedua film ini, penulis jadi berpikir dan bertanya-tanya. Jika kita mencapai titik di mana kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) berkembang menjadi super intelligence, maka akan lebih mirip dengan skenario dalam film Barbie atau Oppenheimer?

Sebelum kita bahas hal ini, mari kita bahas dulu tentang apa itu super intelligence.

Super intelligence merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan tahap hipotetis di mana AI tidak hanya mencapai, tetapi juga melampaui kecerdasan manusia.

Pada titik ini, AI dapat menunjukkan kemampuan kognitif melebihi apa yang mampu dicapai manusia, termasuk belajar, penalaran, pemahaman bahasa, kreativitas, dan kemampuan lainnya.

Konsep ini mungkin terdengar seperti sesuatu yang diambil langsung dari film fiksi ilmiah. Namun, banyak pakar di bidang AI dan robotika percaya bahwa ini bukanlah lagi pertanyaan tentang "jika", tapi "kapan?"

Seiring kemajuan teknologi, kita semakin mendekati titik di mana AI akan mencapai, atau bahkan melampaui kecerdasan manusia.

Menurut artikel di Harvard Science Review yang ditulis oleh William Bryk, banyak ahli percaya bahwa super intelligence bisa menjadi kenyataan dalam hidup kita.

Lihat saja dalam beberapa dekade terakhir, banyak kemajuan teknologi dan komputasi yang terus bermunculan.

Oleh karena itu, sangat masuk akal bahwa beberapa ahli berpendapat dalam beberapa dekade, kecerdasan buatan bisa berkembang dari kecerdasan mesin yang saat ini kita pahami menjadi kecerdasan yang tidak terbatas.

Kecerdasan yang bahkan orang paling pintar di antara kita akan sulit untuk membayangkan, apalagi memahami.

Salah satu adegan dalam film Oppenheimer.Dok. Universal Pictures Salah satu adegan dalam film Oppenheimer.
Ada survei tahun 2014 di mana respondennya adalah peneliti terkemuka di bidang AI. Survei tersebut menunjukkan bahwa ada kemungkinan 50 persen kecerdasan mesin setara manusia (singularitas AI) akan dicapai pada 2050.

Dari hasil survei ini, kita dapat menyimpulkan bahwa AI akan melakukan sebagian besar profesi manusia, setidaknya sebaik manusia rata-rata.

Padahal, 2014 adalah tahun awal ditemukan model jaringan syaraf buatan, dasar dari model transformer untuk Generative AI saat ini.

Jika peneliti pada tahun tersebut saja memprediksi singularitas AI akan muncul tahun 2050, bagaimana kira-kira prediksi mereka sekarang?

Rémi Coulom, seorang ilmuan data asal Perancis dan penemu AI untuk program Go (catur Cina), bahkan sempat memprediksi AI akan mengalahkan manusia dalam Go tahun 2024.

Apa yang terjadi? Dua tahun kemudian, tepatnya 2016, program komputer bernama AlphaGo berhasil mengalahkan peringkat satu Go dunia, Lee See Dol, dengan skor 4-1.

Terbaru, tahun 2022 lalu, program AI besutan Sony bahkan dapat mengalahkan beberapa pemain gim balap mobil "Gran Turismo" top global, secara konsisten.

Kembali ke pertanyaan kita sebelumnya, jika kita mencapai titik di mana AI berkembang menjadi super intelligence, apakah skenarionya lebih mirip dengan film Barbie atau Oppenheimer?

Jika kita melihat ke arah Barbie, kita mungkin membayangkan dunia super intelligence yang penuh warna-warna cerah, kreativitas tanpa batas, dan pemahaman yang lebih mendalam tentang identitas dan tujuan kita.

Seorang kritikus film, Sahifa Syifa, mengatakan bahwa Barbie adalah "satire politik yang aneh nan menarik, film yang sekaligus memuji dan mengkritik produknya, memeriksa hubungan antara ibu dan anak perempuan, menyelidiki gender dan presentasinya, serta perjalanan mencari identitas dan tujuan."

Di sisi lain, gambaran Oppenheimer mungkin sedikit lebih gelap. Pria ini, meski berkontribusi pada ilmu pengetahuan dengan penemuan bom atom, juga membuka pintu untuk potensi kerusakan dan kehancuran besar-besaran.

Namun penulis cenderung setuju dengen review dari kritikus Rachel Fefer: "Anda bisa membenci bom, seperti yang seharusnya kita semua lakukan, tetapi Anda tidak bisa membenci ilmu pengetahuannya."

Oleh karena itu, seburuk apapun skenario terburuk dari super intelligence, jangan sampai kita kemudian membenci AI. Karena skenario buruk itu masih belum muncul dan dapat kita antisipasi dengan menerapkan Responsible AI.

Baca juga: Responsible AI: Kecerdasan yang Bertanggung Jawab

Jadi, jika suatu saat kita memasuki era super intelligence, apakah kita akan melihat dunia yang penuh dengan kemungkinan dan penemuan yang membebaskan seperti Barbie? Atau justru kita akan menghadapi potensi ancaman dan destruksi seperti Oppenheimer?

Hanya waktu yang akan menjawab pertanyaan tersebut, namun satu hal yang pasti: super intelligence memiliki potensi untuk mengubah dunia kita, lebih baik atau lebih buruk, sama seperti Barbie dan Oppenheimer melakukannya dengan cara mereka sendiri.

Apapun itu, kita sebagai masyarakat global harus siap dan sadar akan segala kemungkinkan dan skenario.

Dengan segala keterbatasan, kita harus ikut berusaha memastikan bahwa teknologi ini dikembangkan dan digunakan dengan cara yang paling bertanggung jawab dan bermanfaat bagi semua orang.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Parlemen Israel Loloskan RUU yang Menyatakan UNRWA sebagai Organisasi Teroris

Parlemen Israel Loloskan RUU yang Menyatakan UNRWA sebagai Organisasi Teroris

Tren
Apakah Haji Tanpa Visa Resmi Hukumnya Sah? Simak Penjelasan PBNU

Apakah Haji Tanpa Visa Resmi Hukumnya Sah? Simak Penjelasan PBNU

Tren
Satu Orang Meninggal Dunia Usai Tersedot Turbin Pesawat di Bandara Amsterdam

Satu Orang Meninggal Dunia Usai Tersedot Turbin Pesawat di Bandara Amsterdam

Tren
Pria Jepang yang Habiskan Rp 213 Juta demi Jadi Anjing, Kini Ingin Jadi Hewan Berkaki Empat Lain

Pria Jepang yang Habiskan Rp 213 Juta demi Jadi Anjing, Kini Ingin Jadi Hewan Berkaki Empat Lain

Tren
9 Orang yang Tak Disarankan Minum Teh Bunga Telang, Siapa Saja?

9 Orang yang Tak Disarankan Minum Teh Bunga Telang, Siapa Saja?

Tren
MA Ubah Syarat Usia Calon Kepala Daerah, Diputuskan 3 Hari, Picu Spekulasi Jalan Mulus bagi Kaesang

MA Ubah Syarat Usia Calon Kepala Daerah, Diputuskan 3 Hari, Picu Spekulasi Jalan Mulus bagi Kaesang

Tren
Profil Budi Djiwandono, Keponakan Prabowo yang Disebut Bakal Maju Pilkada Jakarta 2024

Profil Budi Djiwandono, Keponakan Prabowo yang Disebut Bakal Maju Pilkada Jakarta 2024

Tren
Tapera dan Kekhawatiran Akan Korupsi Asabri-Jiwasraya Jilid 2

Tapera dan Kekhawatiran Akan Korupsi Asabri-Jiwasraya Jilid 2

Tren
Sarkofagus Ramses II Ditemukan berkat Hieroglif dengan Lambang Nama Firaun

Sarkofagus Ramses II Ditemukan berkat Hieroglif dengan Lambang Nama Firaun

Tren
Kapan Pengumuman Tes Online Tahap 2 Rekrutmen Bersama BUMN 2024?

Kapan Pengumuman Tes Online Tahap 2 Rekrutmen Bersama BUMN 2024?

Tren
Saat Korea Utara Terbangkan Balon Udara Berisi Sampah dan Kotoran ke Wilayah Korsel...

Saat Korea Utara Terbangkan Balon Udara Berisi Sampah dan Kotoran ke Wilayah Korsel...

Tren
China Hukum Mati Pejabat yang Terima Suap Rp 2,4 Triliun

China Hukum Mati Pejabat yang Terima Suap Rp 2,4 Triliun

Tren
Kandungan dan Kegunaan Susu Evaporasi, Kenali Pula Efek Sampingnya!

Kandungan dan Kegunaan Susu Evaporasi, Kenali Pula Efek Sampingnya!

Tren
Pekerja Tidak Bayar Iuran Tapera Terancam Sanksi, Apa Saja?

Pekerja Tidak Bayar Iuran Tapera Terancam Sanksi, Apa Saja?

Tren
Pedangdut Nayunda Minta ke Cucu SYL agar Dijadikan Tenaga Honorer Kementan, Total Gaji Rp 45 Juta

Pedangdut Nayunda Minta ke Cucu SYL agar Dijadikan Tenaga Honorer Kementan, Total Gaji Rp 45 Juta

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com