Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sosok Freddy Budiman, Terpidana Mati Narkoba yang Terlibat "Bilik Asmara" dan Akui Keterlibatan Oknum Aparat

Kompas.com - 29/07/2023, 08:30 WIB
Diva Lufiana Putri,
Inten Esti Pratiwi

Tim Redaksi

KOMPAS.com -  Hari ini tujuh tahun lalu, tepatnya 29 Juli 2016, gembong narkoba Freddy Budiman dieksekusi mati di Lembaga Permasyarakatan (LP) Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.

Sosok Freddy berulang kali terjerat kasus pengedaran narkoba. Nama Freddy bahkan dikenal sebagai salah satu bandar narkoba besar di Indonesia dengan jaringan kelas internasional.

Berkali-kali terjerat kasus pengedaran narkoba tak lantas membuat Freddy Jera. Dia juga disebut dapat mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi.

Baca juga: Nama Bandar Narkoba Freddy Budiman Kembali Mencuat, Ini Pengakuannya Sebelum Eksekusi Mati


Freddy Budiman, terpidana mati kasus narkoba

Diberitakan Kompas.com (22/3/2021), kasus narkoba yang menjerat pria asal Surabaya ini bermula pada Maret 2009.

Saat itu, polisi menggeledah kediaman Freddy di Apartemen Surya, Cengkareng, Jakarta Barat, dan menemukan sabu seberat 500 gram.

Kepemilikan dan tindakan Freddy saat itu pun berbuah vonis penjara selama 3 tahun 4 bulan pada Maret 2009.

Setelah bebas, Freddy kembali berhadapan dengan aparat pada tahun 2011. Kali ini, dia ditangkap di Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat.

Polisi menemukan bukti barang berupa heroin 300 gram, sabu 27 gram, dan bahan pembuat ekstasi 450 gram.

Kasus kepemilikan dan peredaran barang haram itu turut melibatkan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri), yakni Bripka BA, Kompol WS, AKP M, dan AKM AM.

Atas perbuatannya, Freddy mendapat vonis 9 tahun penjara dan harus mendekam di LP Cipinang.

Tak jera, Freddy kembali kedapatan mengendalikan bisnis narkoba dari balik jeruji besi. Dia terbukti mengorganisir penyelundupan 1.412.476 butir ekstasi dari China pada Mei 2012.

Perbuatan inilah yang mengantar sosok Freddy Budiman mendapat vonis pidana mati dari Pengadilan Negeri Jakarta pada 15 Juli 2013.

Baca juga: Apa Efek Narkoba jika Dikonsumsi Balita? Ini Kata BNN dan Ahli UGM

Terlibat bilik asmara

Terpidana mati pemilik 1,4 juta ekstasi Freddy Budiman.REPRO TVONE Terpidana mati pemilik 1,4 juta ekstasi Freddy Budiman.

Cerita Freddy Budiman tak berhenti sampai di situ. Sosoknya sempat menghebohkan publik karena menjalin hubungan dengan model majalah dewasa, Anggita Sari.

Bukan hanya itu, masih di tahun 2013, dia pernah terlibat dalam kasus bilik asmara di LP Narkotika Cipinang, Jakarta Timur.

Bilik asmara tersebut menggunakan Freddy dan sang kekasih, Vanny Rossyane, untuk menikmati narkoba dan berhubungan seksual.

Dikutip dari Kompas.com (15/8/2013), berdasarkan hasil pemeriksaan Inspektorat Jenderal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, keduanya memadu kasih di ruang kerja Kepala Seksi Kegiatan Kerja, Abner Jolando.

Temuan itu pun membuat Kepala Lembaga Permasyarakatan Cipinang yang kala itu menjabat, Thurman Hutapea harus dicopot dari jabatan.

Baca juga: Dipecat dari Polri, Begini Kasus Narkoba Teddy Minahasa

Pengakuan keterlibatan oknum BNN, Polri, dan Bea Cukai

Sebelum dieksekusi mati, Freddy Budiman pernah mengungkap keterlibatan oknum Badan Narkotika Nasional (BNN), Polri, dan Bea Cukai dalam peredaran narkoba yang dilakukannya.

Dilansir dari pemberitaan Kompas.com (29/7/2016), cerita tersebut Freddy sampaikan kepada Koordinator Kontras saat itu, Haris Azhar.

Haris mengatakan, pengakuan Ferdy didapat saat dirinya memenuhi undangan dari salah satu organisasi gereja yang aktif memberikan pendampingan rohani di LP Nusakambangan.

Menurut Haris, Freddy mengaku hanyalah operator penyelundupan narkoba dengan skala besar.

Saat akan dibawa, Freddy menghubungi berbagai pihak untuk mengatur kedatangan narkoba dari China.

"Kalau saya mau selundupkan narkoba, saya acarain (atur) itu. Saya telepon polisi, BNN, Bea Cukai dan orang yang saya hubungin itu semuanya titip harga," ujar Haris mengulang cerita Freddy, di Kontras, Jakarta, Jumat (29/7/ 2016).

Freddy bercerita, harga narkoba yang dibeli dari China sebesar Rp 5.000. Oleh karena itu, dirinya tak menolak jika ada titipan harga atau pihak yang memperoleh keuntungan penjualan.

Adapun oknum, disebut meminta keuntungan dari Rp 10.000 hingga Rp 30.000 per butir.

"Karena saya bisa dapat 200.000 per butir. Jadi kalau hanya bagi rezeki Rp 10.000-Rp 30.000 ke masing-masing pihak dalam institusi tertentu, itu tidak masalah. Saya hanya butuh Rp 10 miliar barang saya datang," ucap Haris, menirukan Freddy.

"Dari keuntungan penjualan saya bisa bagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah pejabat di institusi tertentu," tambahnya.

Freddy pun mengaku kecewa terhadap penegak hukum yang tidak tersentuh. Pasalnya, dia telah memberikan puluhan miliar kepada oknum selama menyelundupkan narkoba.

"Kemana orang-orang itu? Saya sudah serahkan uang ke BNN Rp 40 miliar, Rp 90 miliar ke pejabat tertentu di Mabes Polri," aku Freddy.

Apalagi, lanjutnya, dia sempat menggunakan mobil jenderal TNI bintang dua saat membawa narkoba.

"Bahkan saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang dua di mana si jenderal duduk di samping saya ketika saya menyetir mobil dari Medan sampai Jakarta dengan kondisi di bagian belakang penuh narkoba. Perjalanan saya aman tanpa gangguan apapun," pungkas Freddy.

Freddy pun dieksekusi mati pada 29 Juli 2016 sekitar pukul 20.00 WIB di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Dia kemudian dimakamkan di Surabaya, Jawa Timur.

(Sumber: Kompas.com/Dian Maharani, Lutfy Mairizal Putra | Editor: Rindi Nuris Velarosdela, Bayu Galih)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com