Oleh: Alifia Putri Yudanti dan Ikko Anata
KOMPAS.com - Kekerasan adalah bentuk kejahatan yang membuat korbannya terjebak dalam lingkaran setan. Terlebih jika hal itu terjadi dalam suatu hubungan romansa dan rumah tangga. Mayoritas korban dari kekerasan ini adalah perempuan.
Menurut catatan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ada sebanyak 25.050 perempuan menjadi korban kekerasan di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah tersebut meningkat 15,2 persen dari tahun sebelumnya sebanyak 21.753 kasus.
Kekerasan rumah tangga menjadi kasus yang paling banyak terjadi dan mencapai 18.138 korban. Itu sebabnya, banyak kisah yang mengangkat fenomena ini untuk meningkatkan kepedulian dan kewaspadaan bagi masyarakat Indonesia, khususnya perempuan.
Kekompleksitasan masalah ini dituangkan dalam serial orisinal audio drama kelima dari siniar Tinggal Nama bertajuk “Kadaver” pada episode “Permulaan Satu (Prolog)” dengan tautan dik.si/TNKadaverP1.
Mengutip United Nations, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) didefinisikan sebagai pola perilaku intimidasi untuk mendapatkan atau mempertahankan kekuasaan dan kendali atas pasangannya.
Pelaku KDRT biasanya menggunakan cara yang menakut-nakuti, mengintimidasi, meneror, memanipulasi, menyakiti, mempermalukan, hingga menyalahkan pasangan agar mau menuruti segala perintahnya. Mereka tidak mau dianggap sebagai sosok yang lemah.
Baca juga: Oversharing di Media Sosial, Apa Dampaknya?
Kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi pada siapa saja, terlepas dari ras, usia, orientasi seksual, agama, atau jenis kelamin. Akibatnya, tindakan ini sangat mempengaruhi kondisi fisik dan psikis korban.
Kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga membentuk siklus yang lebih besar dan besar. Meskipun kekerasan jarang dilakukan, perilaku tersebut bisa membuat korban ketakutan sehingga pelaku mampu mengendalikan hidupnya.
Perilaku ini biasanya didukung oleh budaya patriarki, yaitu mengedepankan laki-laki dalam berbagai hal sehingga perempuan pun termarginalkan. Selain itu, stigma bahwa laki-laki kuat dan perempuan lemah juga membuat kasus KDRT jarang sekali cepat dilaporkan.
Terdapat empat siklus yang biasa dialami oleh korban KDRT. Pertama adalah siklus ketegangan yang menjadi pemicu awal dari pertengkaran, misalnya masalah ekonomi keluarga yang memburuk.
Jika tak ditangani dengan tepat siklus ini akan memicu siklus kedua, yaitu kekerasan. Siklus ini adalah manifestasi dari masalah pemicu. Bentuknya meliputi kekerasan fisik (pukulan, tendangan, cekikan), seksual, dan emosional (penghinaan atau umpatan kasar).
Ketiga adalah siklus rekonsiliasi. Setelah kekerasan berlangsung, pelaku akan meminta maaf kepada korban dan berjanji tidak akan mengulanginya. Tahap ini yang membuat kebanyakan korban luluh dan mau kembali kepada pelaku.
Tahap terakhir adalah siklus bulan madu. Pada siklus ini, pelaku dan korban kembali menjalani hubungan sehat seperti biasa. Namun, tahap ini tidak boleh disepelekan karena jika terjadi masalah pelaku KDRT bisa kembali ke siklus ketegangan dan seterusnya.
Apabila siklus ini terus berlangsung, korban dapat mengalami disabilitas fisik, gangguan mental, dan enggan bersosialisasi. Tak hanya pasangan, anak-anak yang tinggal di keluarga seperti ini sering menunjukkan masalah psikologis, seperti trauma berkepanjangan dan kenakalan yang tak dapat terkendali.