JERMAN, 1943. Marianne Elise merupakan anggota pasukan garis depan Nazi. Jalan hidupnya ironis. Ia tidak mati secara "semestinya", yaitu tertembus peluru musuh. Elise justru kehilangan nyawanya karena dihukum mati oleh pengadilan negaranya sendiri.
Apa sebab? Ia dilaporkan oleh koleganya karena menceritakan lelucon ini: "Adolf Hitler dan seorang petinggi Nazi sedang berdiri di atas gedung. Hitler bilang, dia ingin melakukan sesuatu untuk membuat orang Berlin tersenyum. Lantas, petinggi Nazi itu menjawab, 'Mengapa kamu tidak melompat saja?’"
Delapan tahun sebelumnya, Werner Finck ditangkap aparat di lokasi syuting. Seniman kabaret itu memang sudah dipantau sejak Hitler mulai bercokol karena sering menyelipkan sindiran terhadap pemerintahan Hitler.
Baca juga: Humor Lucu dan Berbahaya
Finck pun diseret ke salah satu kamp Nazi. Di sana, ia boleh dibilang beruntung dibanding tahanan lain. Popularitasnya sebagai pelaku humor cukup membuat petugas di sana "sungkan" menyiksanya.
Finck bahkan diberi kesempatan manggung di hadapan tahanan lain sambil sempat-sempatnya bercanda: “Selama ini, kita takut dijebloskan ke kamp konsentrasi. Untungnya ketakutan sekarang itu sudah hilang! Karena kita semua sudah berada di dalam!”
Berkat reputasinya sebagai pelaku humor pula, ia tak terlalu lama mendekam di sana. Enam minggu berselang, Finck dikeluarkan berkat lobi relasinya, seorang aktris yang kebetulan juga kekasih petinggi Nazi.
Rezim Hitler memang tidak sepenuhnya melarang pertunjukan komedi yang politis – "hanya" dipantau dan dicatat adakah pernyataan yang merendahkan Der Fuhrer. Tak semua pelaku humor diadili juga, kok.
Namun, otoriternya Nazi yang mengatur secara resmi penghinaan terhadap Hitler beserta kroninya serta terampasnya hak hidup orang biasa seperti Elise karena humor, memaksa banyak orang berhati-hati dalam bercanda di kala itu.
Baca juga: Yang Boleh Bebas dari Penjara, Hanya Humor
Nyatanya, tetap saja mustahil untuk membendung hasrat manusia untuk berhumor, terlebih di situasi ketika rasa takut dan frustrasi perlu disalurkan sembari melakukan resistensi.
Maka, di Jerman masa itu, lahirlah yang dinamakan whisper joke, humor-humor yang beredar secara bisik-bisik saja – takut kalau dilantangkan akan membuat rezim geram (Dead Funny - Herzog, 2011).
Di acara jamuan oleh suatu kementerian hari itu, menyempillah pelaku humor yang dilabeli sebagai tokoh yang rajin memviralkan isu-isu yang sedang panas. Kompetensinya tidak berkaitan langsung sebenarnya dengan kementerian tersebut.
Alhasil, sebagian orang menduga ia sedang dibujuk untuk tidak turut memanas-manasi, karena kementerian yang mengundangnya itu sedang jadi sorotan publik belakangan.
“Wah, sudah masuk sirkel,” kata mereka yang apatis.
Kecurigaan dari masyarakat itu sejatinya bisa dimaklumi. Pasalnya, selama ini, publik amat bergantung pada pelaku humor supaya bisa ‘berdialog’ dengan para elite lewat joke, kartun, dan medium lainnya.
Masyarakat berharap pelaku humor ini bisa mewakili mereka dan selalu berada di posisi mereka. Sudah ada buktinya, memang benar-benar beda kok respons atas kritikan pelaku humor dan masyarakat jelata.
Baca juga: Humor: Antara Tawa, Kritik, dan Resistensi Kekuasaan