Apa sebab? Ia dilaporkan oleh koleganya karena menceritakan lelucon ini: "Adolf Hitler dan seorang petinggi Nazi sedang berdiri di atas gedung. Hitler bilang, dia ingin melakukan sesuatu untuk membuat orang Berlin tersenyum. Lantas, petinggi Nazi itu menjawab, 'Mengapa kamu tidak melompat saja?’"
Delapan tahun sebelumnya, Werner Finck ditangkap aparat di lokasi syuting. Seniman kabaret itu memang sudah dipantau sejak Hitler mulai bercokol karena sering menyelipkan sindiran terhadap pemerintahan Hitler.
Finck pun diseret ke salah satu kamp Nazi. Di sana, ia boleh dibilang beruntung dibanding tahanan lain. Popularitasnya sebagai pelaku humor cukup membuat petugas di sana "sungkan" menyiksanya.
Finck bahkan diberi kesempatan manggung di hadapan tahanan lain sambil sempat-sempatnya bercanda: “Selama ini, kita takut dijebloskan ke kamp konsentrasi. Untungnya ketakutan sekarang itu sudah hilang! Karena kita semua sudah berada di dalam!”
Berkat reputasinya sebagai pelaku humor pula, ia tak terlalu lama mendekam di sana. Enam minggu berselang, Finck dikeluarkan berkat lobi relasinya, seorang aktris yang kebetulan juga kekasih petinggi Nazi.
Rezim Hitler memang tidak sepenuhnya melarang pertunjukan komedi yang politis – "hanya" dipantau dan dicatat adakah pernyataan yang merendahkan Der Fuhrer. Tak semua pelaku humor diadili juga, kok.
Namun, otoriternya Nazi yang mengatur secara resmi penghinaan terhadap Hitler beserta kroninya serta terampasnya hak hidup orang biasa seperti Elise karena humor, memaksa banyak orang berhati-hati dalam bercanda di kala itu.
Nyatanya, tetap saja mustahil untuk membendung hasrat manusia untuk berhumor, terlebih di situasi ketika rasa takut dan frustrasi perlu disalurkan sembari melakukan resistensi.
Maka, di Jerman masa itu, lahirlah yang dinamakan whisper joke, humor-humor yang beredar secara bisik-bisik saja – takut kalau dilantangkan akan membuat rezim geram (Dead Funny - Herzog, 2011).
Suatu Negara, 2023
Di acara jamuan oleh suatu kementerian hari itu, menyempillah pelaku humor yang dilabeli sebagai tokoh yang rajin memviralkan isu-isu yang sedang panas. Kompetensinya tidak berkaitan langsung sebenarnya dengan kementerian tersebut.
Alhasil, sebagian orang menduga ia sedang dibujuk untuk tidak turut memanas-manasi, karena kementerian yang mengundangnya itu sedang jadi sorotan publik belakangan.
“Wah, sudah masuk sirkel,” kata mereka yang apatis.
Kecurigaan dari masyarakat itu sejatinya bisa dimaklumi. Pasalnya, selama ini, publik amat bergantung pada pelaku humor supaya bisa ‘berdialog’ dengan para elite lewat joke, kartun, dan medium lainnya.
Masyarakat berharap pelaku humor ini bisa mewakili mereka dan selalu berada di posisi mereka. Sudah ada buktinya, memang benar-benar beda kok respons atas kritikan pelaku humor dan masyarakat jelata.
Di masa negara ini memasuki era demokrasi, kritik dari pelaku humor masih cukup bebas, bahkan dikemas menjadi produk hiburan, seperti roasting pejabat di televisi.
Beda cerita begitu rakyat biasa yang melakukannya. Ada yang dipanggil pihak berwajib karena mengunggah humor milik negarawan terpandang tentang polisi jujur. Pernah ada juga yang dilaporkan telah mencemarkan nama baik ketika mengunggah meme tentang politisi cum koruptor yang mencoba berkelit dari proses hukum.
Alhasil, makin hari makin terasa, bahwa pelaku humor itu sejatinya profesi yang politis – seperti yang Finck alami di era Nazi tadi!
Daniel Dhakidae dalam tulisannya di Jurnal Prisma (2019) mengategorikan mereka sebagai “kaum cendekiawan dalam kelasnya sendiri.”
Bagaimana enggak politis? Mereka lumrahnya mengambil peran sebagai oposan dengan menawarkan wacana-wacana korektif.
Betapa tidak cendekia? Lewat karya-karyanya, para pelaku humor mampu menyederhanakan masalah yang rumit bin kompleks, sehingga masyarakat pun bisa paham, bahkan tergerak untuk memperjuangkan penyelesaiannya dengan caranya masing-masing.
Berkaca pada pertimbangan itu, pelaku humor idealnya menjadi kelas masyarakat yang menjaga jarak dengan kekuasaan. Sebab, siapa lagi yang bisa publik andalkan?
Namun di sisi lain, realitasnya mereka juga menjalani profesi sebagai pelaku humor karena punya kepentingan: ekonomi.
Era demokrasi dan kapitalisme bukan lagi habitat yang cocok bagi humor-humor anonim atau whsiper humor. Pasalnya, pelaku humor, seperti stand-up comedian, bisa menjadi personifikasi dari humor itu sendiri.
Kini, selain menggerakkan industri hiburan, pelaku humor juga sangat mungkin berkawan dengan kaum elite di pemerintahan atau pengusaha untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Kalangan berpengaruh dan berharta tersebut bisa saja memakai ‘cendekiawan-cendekiawan kecil’-nya untuk mempertahankan dominasinya di masyarakat lewat pelbagai cara, dari "kurasi" konten humor bahkan pembungkaman.
Kendati hanya pengecualian alias sangat sedikit jumlahnya, tetapi hal itu pernah terjadi di suatu negara, di masa yang mereka sebut masa Orde Baru.
Tulisan ini mungkin tidak akan berakhir di sini. Penulis bakal mencoba memperbaruinya dengan jawaban atau bukti atas pertanyaan macam: “apakah pelaku humor kita di era pascareformasi tidak hanya berperan sebagai pengkritik kaum elite tetapi juga pelanggeng kuasa mereka”?
https://www.kompas.com/tren/read/2023/04/27/105701365/pelaku-humor-antara-cita-cita-dan-realitas