Di masa negara ini memasuki era demokrasi, kritik dari pelaku humor masih cukup bebas, bahkan dikemas menjadi produk hiburan, seperti roasting pejabat di televisi.
Beda cerita begitu rakyat biasa yang melakukannya. Ada yang dipanggil pihak berwajib karena mengunggah humor milik negarawan terpandang tentang polisi jujur. Pernah ada juga yang dilaporkan telah mencemarkan nama baik ketika mengunggah meme tentang politisi cum koruptor yang mencoba berkelit dari proses hukum.
Alhasil, makin hari makin terasa, bahwa pelaku humor itu sejatinya profesi yang politis – seperti yang Finck alami di era Nazi tadi!
Daniel Dhakidae dalam tulisannya di Jurnal Prisma (2019) mengategorikan mereka sebagai “kaum cendekiawan dalam kelasnya sendiri.”
Bagaimana enggak politis? Mereka lumrahnya mengambil peran sebagai oposan dengan menawarkan wacana-wacana korektif.
Betapa tidak cendekia? Lewat karya-karyanya, para pelaku humor mampu menyederhanakan masalah yang rumit bin kompleks, sehingga masyarakat pun bisa paham, bahkan tergerak untuk memperjuangkan penyelesaiannya dengan caranya masing-masing.
Berkaca pada pertimbangan itu, pelaku humor idealnya menjadi kelas masyarakat yang menjaga jarak dengan kekuasaan. Sebab, siapa lagi yang bisa publik andalkan?
Namun di sisi lain, realitasnya mereka juga menjalani profesi sebagai pelaku humor karena punya kepentingan: ekonomi.
Era demokrasi dan kapitalisme bukan lagi habitat yang cocok bagi humor-humor anonim atau whsiper humor. Pasalnya, pelaku humor, seperti stand-up comedian, bisa menjadi personifikasi dari humor itu sendiri.
Kini, selain menggerakkan industri hiburan, pelaku humor juga sangat mungkin berkawan dengan kaum elite di pemerintahan atau pengusaha untuk memenuhi kebutuhan ekonominya.
Kalangan berpengaruh dan berharta tersebut bisa saja memakai ‘cendekiawan-cendekiawan kecil’-nya untuk mempertahankan dominasinya di masyarakat lewat pelbagai cara, dari "kurasi" konten humor bahkan pembungkaman.
Kendati hanya pengecualian alias sangat sedikit jumlahnya, tetapi hal itu pernah terjadi di suatu negara, di masa yang mereka sebut masa Orde Baru.
Tulisan ini mungkin tidak akan berakhir di sini. Penulis bakal mencoba memperbaruinya dengan jawaban atau bukti atas pertanyaan macam: “apakah pelaku humor kita di era pascareformasi tidak hanya berperan sebagai pengkritik kaum elite tetapi juga pelanggeng kuasa mereka”?
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.