Dikutip dari CNN, ada beberapa hal yang menyebabkan orang Jepang mengalami depopulasi. Di antaranya adalah gaya hidup di mana orang sibuk bekerja sehingga hanya punya sedikit waktu untuk membangun keluarga.
Selain itu, biaya hidup menjadi lebih mahal jika memiliki bayi menjadi pertimbangan anak muda.
Selain itu, adanya hal tabu soal pembicaraan kesuburan dan adanya norma patriaki yang merugikan seorang ibu jika kembali bekerja setelah melahirkan.
Beberapa pihak mengkhawatirkan, apa yang terjadi di Jepang saat ini terjadi karena wanita usia subur jumlahnya mencapai titik terendah. Beberapa orang mengkhawatirkan tak ada cara untuk membalikkan tren penurunan populasi.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan, pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya guna meningkatkan angka kelahiran.
Termasuk, menggandakan anggaran kebijakan terkait anak dan menjamin pendidikannya. Namun sejauh ini hanya ada sedikit dampak dari hal tersebut.
Perdana Menteri bahkan sempat mengingatkan kepada warganya bahwa "waktu hampir habis untuk berkembang biak".
Peringatan tersebut merujuk bahwa negara sedang di ambang pintu ketidakmampuan untuk mempertahankan fungsi sosialnya jika tanpa adanya penduduk.
Pada tahun 2021, orang asing hanya menyumbang 2,2 persen populasi di Jepang jauh lebih kecil dari yang terjadi di Amerika Serikat di mana orang asing menyumbang 13,6 persen populasi.
Seiring dengan penurunan populasi, dikhawatirkan banyak kerajinan tradisional dan cara hidup khas masyarakat Jepang juga terancam punah.
Baca juga: Menilik Kehidupan di Aogashima, Sebuah Desa di Kawah Gunung Berapi Aktif Jepang
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.