Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Resesi Seks Jepang: Kisah 2 Murid Terakhir yang Sekolahnya Ditutup

Imbasnya, sejumlah sekolah mengalami kekurangan murid dan banyak yang harus ditutup karena ketiadaan siswa. 

Liputan investigasi Reuters, menampilkan cerita dua murid terakhir dari sebuah SMP di daerah Fukushima, Jepang yang harus ditutup karena tidak adanya murid. 

Keduanya adalah satu-satunya lulusan SMP Yumoto, SMP di bagian pegunungan Jepang utara - dan yang terakhir.

Sekolah berusia 76 tahun itu akan menutup pintunya untuk selamanya ketika tahun ajaran berakhir pada awal Maret 2023.

“Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut, ”kata Eita dikutip dari Reuters.

Aoi, yang bercita-cita menjadi guru taman kanak-kanak di kampung halamannya, akan bersekolah di sekolah yang berbeda dari Eita mulai bulan April.

“Saya tidak tahu apakah akan ada anak di desa saat saya menjadi guru. Tapi jika ada, aku ingin kembali,” kata Aoi.

Rekor penurunan angka kelahiran dan penutupan sekolah

Angka kelahiran di Jepang anjlok di bawah 800.000 pada tahun 2022. Jumlah tersebut dinilai menjadi rekor terendah sejauh ini.

Fenomena menurunnya angka kelahiran yang lebih cepat dari perkiraan memberikan pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil yang seringkali menjadi jantung kota dan desa pedesaan.

Sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun, menurut data pemerintah.

Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 sekolah ditutup sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru dan lebih muda.

“Saya khawatir orang tidak akan menganggap daerah ini sebagai tempat pindah untuk memulai sebuah keluarga jika tidak ada sekolah menengah pertama,” kata ibu Eita, Masumi, juga lulusan Yumoto.

Ten-ei, sebuah desa berpenduduk kurang dari 5.000 dengan hanya sekitar 10 persen di bawah usia 18 tahun.

Pada tahun 1950 desa itu memiliki lebih dari 10.000 penduduk, didukung oleh pertanian dan manufaktur.

Tetapi ketidaknyamanan dan lokasi yang dinilai terpencil mendorong penduduk untuk pergi.

Depopulasi bertambah cepat setelah bencana 11 Maret 2011 di pembangkit nuklir Fukushima Dai-ichi yang berjarak kurang dari 100 km dengan Ten-ei menderita beberapa kontaminasi radioaktif yang telah dibersihkan.

SMP Yumoto, sebuah bangunan dua lantai yang terletak di pusat distrik, memiliki sekitar 50 lulusan per tahun selama masa kejayaannya di tahun 1960-an.

Jumlah lulusan sekolah tersebut terus merosot. Eita dan Aoi menjadi dua anak yang melanjutkan di Yumoto dalam tiga tahun terakhir.

“Masyarakat sangat kecewa karena tidak ada lagi sumber budaya,” kata kepala sekolah Mikio Watanabe tentang keputusan penutupan sekolah.

Para ahli memperingatkan bahwa penutupan sekolah di pedesaan akan memperlebar kesenjangan nasional dan membuat daerah terpencil berada di bawah tekanan yang lebih besar.

“Penutupan sekolah berarti kotamadya pada akhirnya akan menjadi tidak berkelanjutan,” kata Touko Shirakawa, dosen sosiologi di Universitas Wanita Sagami.

Tingkat kelahiran yang terus menurun

Tingkat kelahiran di Jepang merosot lebih cepat dari yang diperkirakan. Hal itu membuat penutupan sekolah meningkat.

Termasuk di daerah pedesaan seperti Ten-ei, daerah ski pegunungan di prefektur Fukushima, bagian utara Jepang.

Krisis kelahiran yang terjadi Jepang juga dialami sejumlah negara Asia lainnya seperti China dan Korea Selatan. Kondisi ekonomi dan biaya membesarkan dan merawat anak dinilai jadi salah satu pemicunya.

Terkait kondisi tersebut, Perdana Menteri Je-ang Fumio Kishida menjanjikan sejumlah upaya untuk meningkatkan angka kelahiran.

Termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak, dan biaya pendidikan. Namun hal itu dinilai belum berdampak secara signifikan.

Dikutip dari CNN, ada beberapa hal yang menyebabkan orang Jepang mengalami depopulasi. Di antaranya adalah gaya hidup  di mana orang sibuk bekerja sehingga hanya punya sedikit waktu untuk membangun keluarga.

Selain itu, biaya hidup menjadi lebih mahal jika memiliki bayi menjadi pertimbangan anak muda.

Selain itu, adanya hal tabu soal pembicaraan kesuburan dan adanya norma patriaki yang merugikan seorang ibu jika kembali bekerja setelah melahirkan.

Beberapa pihak mengkhawatirkan, apa yang terjadi di Jepang saat ini terjadi karena wanita usia subur jumlahnya mencapai titik terendah. Beberapa orang mengkhawatirkan tak ada cara untuk membalikkan tren penurunan populasi.

Upaya pemerintah

Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan, pemerintah akan mengambil langkah-langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya guna meningkatkan angka kelahiran.

Termasuk, menggandakan anggaran kebijakan terkait anak dan menjamin pendidikannya. Namun sejauh ini hanya ada sedikit dampak dari hal tersebut.

Perdana Menteri bahkan sempat mengingatkan kepada warganya bahwa "waktu hampir habis untuk berkembang biak".

Peringatan tersebut merujuk bahwa negara sedang di ambang pintu ketidakmampuan untuk mempertahankan fungsi sosialnya jika tanpa adanya penduduk.

Pada tahun 2021, orang asing hanya menyumbang 2,2 persen populasi di Jepang jauh lebih kecil dari yang terjadi di Amerika Serikat di mana orang asing menyumbang 13,6 persen populasi.

Seiring dengan penurunan populasi, dikhawatirkan banyak kerajinan tradisional dan cara hidup khas masyarakat Jepang juga terancam punah.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/04/06/150000965/resesi-seks-jepang--kisah-2-murid-terakhir-yang-sekolahnya-ditutup

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke