KOMPAS.com - Resesi seks akibat keengganan warga memiliki anak, berdampak serius bagi Jepang.
Reuters melaporkan, banyak sekolah di Jepang terpaksa tutup akibat resesi seks ini, salah satunya adalah sekolah menengah Yumoto di Ten-ei, bagian pegunungan utara Jepang.
Belum lama ini, Sekolah Yumoto meluluskan dua siswa terakhirnya sebelum mereka tutup untuk selamanya.
"Kami mendengar desas-desus tentang penutupan sekolah di tahun kedua kami, tetapi saya tidak membayangkan itu akan benar-benar terjadi. Saya terkejut," kata seorang siswa bernama Eita Sato (15).
Baca juga: Jepang dan Korsel Alami Resesi Seks, Apa Penyebabnya?
Ten-ei, sebuah desa berpenduduk kurang dari 5.000 dengan hanya sekitar 10 persen di bawah usia 18 tahun.
Area Yumoto memiliki penginapan mata air panas di pegunungan dan dipenuhi dengan toko persewaan alat ski dan tempat perkemahan.
Pada 1950, desa itu memiliki lebih dari 10.000 penduduk, didukung oleh pertanian dan manufaktur.
Baca juga: Apa Itu Resesi Seks yang Berpotensi Dialami Indonesia, Penyebab, dan Dampaknya?
Depopulasi bertambah cepat setelah bencana 11 Maret 2011 di pembangkit nuklir Fukushima Dai-ichi yang berjarak kurang dari 100 kilometer.
Ten-ei menderita beberapa kontaminasi radioaktif yang telah dibersihkan.
Bangunan sekolah Yumoto terdiri dari dua lantai yang terletak di pusat distrik, memiliki sekitar 50 lulusan per tahun selama masa kejayaannya pada era 1960-an.
Foto-foto setiap kelulusan tergantung di dekat pintu masuk, dari hitam putih menjadi berwarna, dengan jumlah siswa yang terlihat dan tiba-tiba menurun dari sekitar tahun 2000.
Tidak ada gambar dari tahun lalu.
Baca juga: Indonesia Berpotensi Alami Resesi Seks, Ini Dampaknya Menurut Sosiolog
Eita dan Aoi, bersama-sama sejak kelas tiga bersama tiga siswa lainnya sampai sekolah dasar, tetapi hanya dua yang melanjutkan di Yumoto.
Para ahli memperingatkan, penutupan sekolah di pedesaan akan memperlebar kesenjangan nasional dan membuat daerah terpencil berada di bawah tekanan yang lebih besar.
"Penutupan sekolah berarti kotamadya pada akhirnya akan menjadi tidak berkelanjutan," kata Sosiolog Sagami Women’s University, Touko Shirakawa.
Baca juga: Kepala BKKBN Bantah Indonesia Alami Resesi Seks, Apa Alasannya?