KOMPAS.com - Membeli pakaian bekas impor atau thrifting tengah digemari masyarakat di Indonesia dan menjadi fenomena baru.
Dilansir dari laman Universitas Ciputra, thrifting berasal dari kata thrift yang artinya barang bekas impor.
Kondisi barang ini biasanya seperti baru, namun terdapat cacat di beberapa titik, atau tidak 100 persen mulus.
Barang thrift biasanya banyak diburu masyarakat lantaran jumlahnya yang terbatas.
Adapun thrifting adalah kegiatan membeli barang bekas yang masih layak untuk dipakai.
Kendati demikian, fenomena thrifting disebut dapat mengganggu industri tekstil di dalam negeri.
Hal itu disampaikan oleh Presiden Joko Widodo.
"Sudah saya perintahkan untuk mencari betul. Dan sehari, dua hari sudah banyak yang ketemu. Itu mengganggu industri tekstil di dalam negeri. Sangat mengganggu," ujarnya, dilansir dari Kompas.com Kamis (16/3/2023).
Lantas, bagaimana asal-usul budaya thrifting di Indonesia?
Baca juga: Asal-usul Tombol Pintasan Ctrl+C, Ctrl+V, Ctrl+X, dan Ctrl+Z
Tak hanya di Indonesia, thrifting juga bersebar di berbagai negara di dunia.
Menurut Gafara dalam A Brief History of Thrifting (2019), fenomena thrifting berawal ketika revolusi industri terjadi, atau sekitar 1760-1840.
Pada revolusi industri saat itu, terjadi perubahan pemikiran bahwa pakaian adalah barang yang digunakan sekali pakai sehingga jumlah pakaian bekas meningkat.
Pakaian bekas tersebut biasanya digunakan oleh para imigran.
Kemudian, keadaan berbalik pada 1920 ketika terjadi krisis besar-besaran di Amerika.
Baca juga: Dilarang Pemerintah, Mengapa Thrifting di Indonesia Sangat Diminati?
Saat itu, banyak orang yang tidak memiliki pekerjaan sehingga mereka membeli pakaian baru melalui thrift shop.