Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komarudin Watubun
Politisi

Komarudin Watubun, SH, MH adalah anggota Komisi II DPR RI; Ketua Pansus (Panitia Khusus) DPR RI Bidang RUU Otsus Papua (2021); pendiri Yayasan Lima Sila Indonesia (YLSI) dan StagingPoint.Com; penulis buku Maluku: Staging Point RI Abad 21 (2017).

Pesan Soekarno: Antisipasi Risiko Senjata Horor Abad 21

Kompas.com - 13/02/2023, 15:38 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

RAKYAT, pemerintah, dan negara-negara kini memasuki revolusi ke-3 perang; bubuk mesiu dan senjata nuklir cuma jejak-sisa ‘perang’ masa lalu di Bumi. Begitu isi surat terbuka 1.000 ahli dan peneliti teknologi artificial intelligence (AI) dari ruang The International Joint Conference on Artificial Intelligence di Buenos Aires, Argentina, 28 Juli 2015.

Autonomous weapons have been described as the third revolution in warfare, after gunpowder and nuclear arm....” Kini senjata otonom melahirkan revolusi ke-3 perang di jagad-raya. Begitu cuplikan surat ahli-ahli itu.

Jika diaktifkan, autonomous weapon system (AWS) mampu menyeleksi (lacak, deteksi, identifikasi), menemukan, dan memastikan target (serangan), tanpa keterlibatan manusia.

Isi surat itu ialah peringatan risiko ‘military artificial intelligence arms race’ dan seruan melarang ‘offensive autonomous weapons’. Penanda-tangan surat terbuka itu antara lain Profesor Stephen Hawking, Elon Musk dari Tesla, co-founder Apple Steve Wozniak, CEO Google DeepMind Demis Hassabis.

Baca juga: Ukraina Dapat Tank Barat, Rusia Siap Kerahkan Robot Tempur

Surat terbuka ahli-ahli itu mengulang pesan Presiden Soekarno (1955). Tahun 1955 dari ruang Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Jawa Barat, Soekarno merilis pesan ke 54 persen dari total 2,8 miliar penduduk dunia di 29 negara peserta KAA 1955: “The clash, if it came, could perhaps be settled by what were called “conventional weapons”- bombs, tanks, cannon and men. Today that little grain of comfort is denied us for it has been made clear that the weapons of ultimate horror will certainly be used, and the military planning of nations is on that basis.”

Perang tahun 1950-an, menurut Presiden Soekarno, masih menggunakan senjata-senjata konvensional. Jenis perang ini melibatkan bom, tank, meriam, dan manusia. Tapi, itu cuma sekilas dan sebentar. Mengapa? Menurut Soekarno, senjata paling mengerikan pasti akan digunakan; tanda-tanda ke arah itu terbaca dari perencaan militer sejumlah negara masa itu. Begitu Soekarno membaca tanda-tanda kejahatan (evil) yang mengancam kemerdekaan tiap bangsa dan peradaban umat manusia serta memicu horor.

Apa tanda-tanda rencana sistem senjata yang perlu diantisipasi sejak akhir abad 20? Presiden Soekarno menyebut tanda-tandanya antara lain yakni (1) Senjata non-konvensional menjadi senjata konvensional; (2) Keahlian ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) menjadi sesat dan kejam; (3) Iptek sesat dan kejam menyusup ke rencana-rencana militer negara; (4) Hasilnya ialah ‘ultimate horror’ atau horor pamungkas bagi manusia dan hayat di Bumi. Jenis-jenis senjata ini harus diantisipasi oleh bangsa-bangsa Asia-Afrika.

Akhir Juli 2022 di Jenewa (Swiss), panel Perserikatan Bangsa-Bangsa (wakil dari 80 negara) gagal mencapai kesepakatan, melarang atau tidak sistem senjata nirawak-otonom mematikan (lethal autonomous weapons). Jenis senjata ini berisi kamera, sensor, dan bahan peledak menuju target sesuai panduan algoritma di kursi pengendali. Senjata ini bakal hancur bersama target dengan puing detritus elektronik. (Nina Werkhauser, 2022)

PBB melabel khusus generasi baru sistem senjata ini sebagai lethal autonomous weapons systems (LAWS) atau senjata otonom mematikan. Mirip penglihatan Presiden Soekarno yakni sistem senjata ‘horor pamungkas’.

Jenis senjata ini memilih dan menyerang targetnya melalui komando-kontrol-operasi teknologi AI dan mesin-belajar (learning-machine/LM). Maka ahli-ahli melabel ‘killer robot’ yang berupa drone, kendaraan darat, atau kapal selam.

Dalam perang di Ukraina sejak Februari 2022, drone taktis ‘kamikaze’ dapat dipandu oleh operator atau juga terpandu oleh AI dan LM. Begitu pula Rusia menggunakan ‘robot killer’ sejenis pada perang di Ukraina saat ini.

Maka tidak heran, jika AS, Rusia, dan Tiongkok misalnya menolak upaya pelarangan LAWS melalui kerangka PBB. Padahal, menurut peneliti AI Stuart Russel (2022) asal Jerman, LAWS bisa lebih mematikan daripada bom atom.

Tren ‘Killer Robots’

Departemen Pertahanan Amerika Serikat (AS) mengalokasi 7,5 miliar dollar AS ke lebih dari 1.000 jenis platform robot dan teknologinya. Anggaran teknologi robot angkasa berkisar 3,32 miliar dollar; teknologi robot bawah laut mencapai 1,38 miliar dollar, teknologi robot permukaan laut sebesar 1,19 miliar dollar, dan teknologi robot darat sebesar 1,36 miliar dollar. Total anggaran itu membiaya sistem teknologi nirawak.

Paul Scharre (2014:47) merilis suatu perkiraan bahwa anggaran biaya sistem senjata nirawak-otonom (unmanned aircraft dan autonomous weapons system) sekitar 7,5 miliar dollar per tahun hingga tahun 2018. Sistem senjata ini dianggap lebih kecil berisiko bagi prajurit tempur di medan tempur terdepan. (Nathalie Weizmann, 2014:9)

Baca juga: Dari Tank hingga Drone, Inilah Daftar Senjata Barat yang Dipasok ke Ukraina

Seperti halnya konsentrasi senjata nuklir, sejak awal abad 21, sekitar 32 persen riset AI terpusat di Eropa. Apalagi Eropa berperan terdepan di sektor robot, otomatisasi, mekatronik, manufaktur digital, perusahan robot, start-ups, dan publikasi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com