Zahedi dkk (2022) dalam artikel Breakfast consumption and mental health: a systematic review and meta-analysis of observational studies menyimpulkan bahwa melewatkan sarapan sangat terkait dengan kemungkinan depresi, stres, dan tekanan psikologis pada semua kelompok umur serta kecemasan pada masa remaja.
Studi itu menekankan pada dampak sarapan pada sisi kesehatan mental.
Dalam konteks Indonesia kajian Hardiansyah dan Aries (2012) menyebutkan, hampir separuh (44,6 persen) anak usia sekolah sarapan dengan kualitas gizi rendah. Studi ini merekondasikan promosi mengenai kebiasaan sarapan sehat bagi anak usia sekolah perlu dilanjutkan lebih intensif dan berkelanjutan.
Sementara itu, studi Sofianita, Arini, Meietriani (2015) menyebut bahwa terdapat hubungan signifikan antara jenis kelamin, ketersediaan sarapan, dan pengetahuan gizi dengan kebiasaan sarapan.
Selain itu, kebiasaan sarapan pada anak sekolah dasar sangat dipengaruhi oleh pengetahuan gizi.
Dua studi itu sudah cukup lama tetapi dalam situasi praktikal masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.
Perkara sarapan dan bekal tampaknya sederhana. Apa sulitnya orangtua menyiapkan sarapan pagi dan bekal untuk anak-anaknya sebelum mereka berangkat ke sekolah?
Itu mungkin pertanyaan kita, para orangtua di perkotaan yang biasa menyiapkan sarapan dan bekal bagi anak-anak sebelum berangkat ke sekolah. Namun, ternyata hal tersebut bukan perkara sederhana.
Dalam masalah sarapan ada soal-soal yang bersifat struktural dan kultural.
Bersifat struktural karena terkait bagaimana keluarga-keluarga marjinal memiliki bahan pokok yang memadai yang dapat diolah untuk untuk dimakan bersama keluarga dan dijadikan bahan sarapan atau bekal bagi anak-anak mereka. Hal tersebut bergantung pada anggaran setiap keluarga untuk menyiapkan makanan bagi anak-anak.
Bersifat kultural terkait bagaimana anak-anak dibiasakan untuk makan pagi tepat waktu dan juga memakan makanan yang bernutrisi.
Studi-studi yang sudah disampaikan telah memberi penekanan terkait pentingnya sarapan dan bekal bagi anak-anak. Karena urgensi tersebut membangun budaya sarapan dan membawa bekal untuk anak-anak sekolah menjadi sangat penting.
Secara regulasi sudah ada Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2014 tentang Pedoman Gizi Seimbang. Dalam peraturan tersebut disampaikan mengenai pentingnya kebiasaan sarapan.
Aturan yang baik itu perlu disosialisasikan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Proses pembiasaan adalah konteks budaya. Bagaimana sarapan menjadi budaya menjadi sangat penting.
Memang tampaknya sangat remeh temeh dan tidak canggih di tengah ragam perdebatan mengenai digitalisasi dan lainya dalam konteks pendidikan di Indonesia. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang berpihak kepada keluarga marjinal dengan mengecek bagaimana asupan nutrisi dan gizi anak-anak termasuk penyiapan sarapan dan bekal anak-anak menjadi sangat utama.
Baca juga: Tak Sarapan, Anak Bisa Terkena Sindrom Lethargy
Problemnya saya yakin semakin rumit dengan adanya kenaikan bahan pokok akibat naiknya harga bahan bakar minyak. Sebab itu, Dinas-dinas Pendidikan di daerah harus proaktif mengecek sekolah-sekolah untuk memperhatikan bagaimana kebiasaan sarapan dan membawa bekal anak-anak juga berkolaborasi dengan dinas lainnya.
Minimal di sekolah disediakan air minum isi ulang bagi anak-anak, agar mereka tidak dehidrasi dan terbiasa minum air putih.
Jika pemerintah ingin menerapkan Kurikulum Merdeka, maka ada baiknya juga dipastikan apakah anak-anak Indonesia sudah merdeka dan mendapat asupan bergizi dari makanan dan minuman yang dikonsumsinya.
Memastikan anak-anak sarapan dan membawa bekal juga bagian dari memerdekakan jiwa dan pikiran mereka.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.