Ia pernah menjadi penasihat hukum korban dan keluarga korban penghilangan orang secara paksa terhadap 24 aktivis politik dan mahasiswa di Jakarta pada 1997 hingga 1998.
Selain itu Munir juga sempat menjadi penasihat hukum korban tragedi Tanjung Priok 1984, dan pembuhuhan aktivis buruh Marsinah pada 1994.
Ia juga menangani kasus Araujo yang dituduh sebagai pemberontak melawan Pemerintah Indonesia untuk memerdekakan Timor Timur pada 1992, dan kasus pelanggaran HAM lainnya.
Berkat jasa dalam membela berbagai kasus pelanggaran HAM, Munir memperoleh penghargaan The Rights Livelihood Award di Stockholm, Swedia, di bidang kemajuan HAM dan kontrol sipil terhadap militer pada 2000.
Baca juga: Mengenang Sosok Marsinah, Aktivis Buruh yang Tak Mau Mengalah pada Nasib
Tahun ini, kasus pembunuhan Munir sudah berusia 18 tahun. Namun, dalang di balik pembunuhan Munir tak kunjung terungkap.
Lantaran belum dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat, kasus pembunuhan Munir pun terancam kedaluwarsa.
Pasalnya, menurut Direktur Imparsial Gufron Mabruri, selama ini kasus Munir hanya diproses sebagai pidana pembunuhan biasa.
Untuk itu, sesuai Pasal 78 ayat (1) KUHP, kewenangan menuntut kejahatan yang diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup akan hapus sesudah 18 tahun.
"Komitmen dan langkah nyata juga harus ditunjukan oleh presiden Jokowi, jangan sampai dalih kedaluwarsa digunakan untuk impunitas terhadap pelaku dan aktor intelektual pembunuhan Munir," kata Gufron dalam keterangan yang diterima Kompas.com, Senin (5/9/2022).
Baca juga: Mengenang Munir dan Sepak Terjangnya Memperjuangkan HAM...
(Sumber: Kompas.com/Rosy Dewi Arianti Saptoyo | Editor: Rizal Setyo Nugroho; Aryo Putranto Saptohutomo)