Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Marsinah Pahlawan Buruh yang Terbunuh pada 8 Mei 1993

Kompas.com - 08/05/2020, 14:20 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Virdita Rizki Ratriani

Tim Redaksi

KOMPAS.com - "Aku melihat begitu banyak tangan berlumuran darah.....

Aku melihat bagaimana keserakahan boleh terus berlangsung.

Para pemilik modal boleh terus mengeruk keuntungan, para manager dan para pemegang kekuasaan boleh terus-menerus bercengkerama diatas setiap tetes keringatku.

Tapi seorang buruh kecil seperti diriku berani membuka mulutnya menuntut kenaikan upah? Nyawanya akan terenggut,"

Itu merupakan perkataan Marsinah dalam sebuah petikan dialog dari naskah monolog berjudul Marsinah Menggugat karya Ratna Sarumpaet.

Hari ini 27 tahun yang lalu, tepatnya pada 8 Mei 1993 menjadi tanggal kelam dalam sejarah penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia.

Baca juga: Buruh Nilai Aturan soal Boleh Tunda Bayar THR Bukti Kegagalan Menaker

 

Seorang buruh perempuan yang lantang menyuarakan tuntutan pekerja atas kesejahteraan harus kehilangan nyawanya.

Pada 9 Mei 1993, jasad Marsinah ditemukan di hutan Dusun Jegong, Nganjuk, Jawa Timur. Namun, hasil olah forensik pada saat itu menunjukkan bahwa Marsinah tewas sejak sehari sebelumnya.

Jasadnya dipenuhi luka-luka dan hasil forensik juga menyatakan bahwa Marsinah sempat diperkosa sebelum kehilangan nyawa. Hingga saat ini, pelaku kekejaman itu tidak pernah terungkap dan mendapat hukuman yang semestinya.

Baca juga: Empati untuk Buruh di Tengah Pandemi

Siapa Marsinah?

Dikutip dari Harian Kompas, 10 November 1993, Marsinah adalah seorang buruh perempuan yang bekerja pada PT Catur Putra Surya (CPS), pabrik pembuat jam di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur.

Perempuan yang sangat energik ini adalah sosok buruh yang progresif dan tidak ingin mengalah begitu saja kepada nasib walaupun lahir dari keluarga tak mampu.

Salah satu sisi menarik dari Marsinah adalah dia merupakan seorang yang memiliki hobi membaca dan selalu mendapat juara di sekolahnya.

Namun, bekal juara dan hobi membaca saja tak cukup untuk membuatnya meraih pendidikan hingga bangku perkuliahan.

Baca juga: Soal THR Boleh Ditunda, Buruh Nilai Kapabilitas Menaker Rendah dalam Lindungi Hak Karyawan

Karena keterbatasan biaya, Marsinah hanya mampu menyelesaikan pendidikannya sampai tingkat SLTA.

Kendati demikian, menuntut ilmu terus ia lanjutkan, yaitu melalui jalur nonformal dengan mengikuti kursus Bahasa Inggris dan komputer.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com