Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ari Junaedi
Akademisi dan konsultan komunikasi

Doktor komunikasi politik & Direktur Lembaga Kajian Politik Nusakom Pratama.

Kisah "Bedebah" di Negara Pancasila

Kompas.com - 01/09/2022, 07:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Bisa jadi buah pikir politisi PPP itu menyikapi fenomena melonjaknya penderita HIV/AIDS yang menghebohkan di Kota Bandung. Tanpa mempertimbangkan semua aspek kajian yang melatarbelakangi fenomena tersebut, Wakil Gubernur Uu langsung “ceplas-ceplos” berkomentar di media.

Baca juga: Panen Kritikan Wagub Jabar soal Solusi Poligami Atasi HIV/AIDS

Alhasil, pernyataan sang wakil disanggah oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, untuk meredam suara pro-kontra di masyarakat dan media.

Hilangnya rasa malu dan tidak tahu diri

Di saat ini, masyarakat kita masih begitu membangga-banggakan “jubah-jubah” yang dikenakan. Jabatan apa yang disandangnya, berapa banyak mobil super car yang dimilikinya, berapa besar kondominium yang dikoleksinya.

Ada sahabat saya di parlemen yang bertekad harus menyandang gelar doktor, tidak peduli gelar itu akan dibuat apa nantinya. Dia tidak memerlukannya untuk pengembangan ilmu apalagi untuk mengajar kelak.

Baginya menjadi anggota DPR akan lebih “keren” jika ada tambahan gelar di depan namanya setelah sebelumnya sudah berjejer gelar-gelar akademis yang lain di belakang namanya.

Ada pula kisah dosen sederhana yang gaya kehidupannya begitu “sontak” berubah setelah menjabat menjadi rektor sebuah perguruan tinggi negeri di pulau seberang Jawa. Kehidupannya masih semenjana saat didapuk menjadi wakil rektor.

Gelar profesornya membuat dihargai dan ingin dihargai banyak kalangan. Rumah sederhananya bersalin rupa menjadi rumah gedongan.

Bagi kami yang mengandalkan hidup sebagai pengajar, rezeki lebih bisa didapat jika kami menjadi konsultan di luar. Mengandalkan gaji saja sebagai dosen cukup untuk bertahan hidup dengan sederhana.

Berpikiran menjadikan calon mahasiswa sebagai obyek pemerasan harusnya tidak boleh ada dalam diri seorang dosen. Tidak pelak saat dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), para koleganya begitu kaget ternyata setiap mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri dikenakan “tarif” beragam, berkisar dari Rp 150 hingga Rp 400 juta tergantung fakultas yang dipilih di luar biaya resmi.

Baca juga: Profil Tersangka Penyuap Rektor Unila, Andi Desfiandi, Mantan Rektor yang juga Anggota Bravo 5

Petugas KPK yang menggeladah rumah sang rektor begitu terbelalak menemukan pecahan mata uang asing dan emas batangan setara dengn nilai rupiah yang fantastis, yang diduga sebagai “penimbunan” dari hasil palak calon mahasiswa jalur mandiri.

Tidak tanggung-tanggung, rektor berkolaborasi dengan wakil rektor dan pejabat-pejabat kampus yang lain “memasang” tarif ilegal untuk menjaring fulus orangtua yang ngebet anaknya bisa berkuliah di perguruan tinggi negeri.

Gelar guru besar yang disandangnya bukan untuk pengembangan keilmuan tetapi malah terjerumus dengan sikap hidup hedon yang memuja materi.

Mungkin sang profesor ini tidak mau tahu atau bersikap masa bodoh andai kelak mahasiswa yang “dipalak” berhasil lulus menjadi dokter dan terjun ke masyarakat. Apakah tindakan medis yang dilakukan dokter lulusan jalur mandiri bisa “menyehatkan” pasien atau malah “menyakitkan” pasien.

Dari Palembang, Sumatera Selatan, kita bisa menyimak betapa kesombongan yang disebabkan karena kedudukan menjadi “wakil” rakyat ternyata bisa menumpulkan rasa kemanusiaan. Dengan alasan ingin mendahului antrean kendaraan yang sedang menunggu giliran mendapat isian bahan bakar, seorang anggota dewan Kota Palembang tega menghajar seorang perempuan.

Ajaran dan norma sopan santun bahwa setiap pria harus menghormati kaum perempuan ternyata dilupakan oleh anggota dewan yang terhormat.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com