Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Kisah "Bedebah" di Negara Pancasila

Pencuri tetap ngotot, dirinya hanya mencuri tali tetapi kambingnya terbawa serta karena terikat dengan tali tersebut. Pencuri tetap tidak mengakui telah mengambil kambing, yang diakuinya hanyalah membawa tali tanpa izin yang punya.

Soal kambingnya ikut terbawa, itu adalah resiko kambing sendiri yang terikat tali. Mungkin itulah pendapat si maling yang tidak bisa diganggu-gugat.

Dalam kehidupan nyata, sikap pendapat pribadi sendiri yang paling benar sementara sikap orang lain salah, menjadi gejala yang umum kita jumpai. Menang sendiri tanpa mempedulikan pendapat orang lain.

Pendapat sendiri diakui sebagai “kebenaran” yang mutlak sementara pendapat orang lain selalu salah dan tidak betul.

Ulah seorang konten kreator bernama Zavilda yang meminta perempuan di keramaian kawasan Malioboro, Jogyakarta, menggunakan kerudung dengan memaksa, lengkap dengan dalil-dalil kebenaran menurut versinya, tidak urung menggugah rasa kebhinekaan dan toleransi yang selama ini kita abaikan.

Menjadi mayoritas, tidak harus menekan minoritas. Justru rasa kebangsaan kita yang pernah begitu diagung-agungkan menjadi simbol kosong belaka.

Kita semua masih terjebak dengan informasi yang muncul saat ini layak untuk diumumkan kemana-mana tanpa menunggu apakah itu kebenaran semu atau masih membutuhkan konfirmasi terlebih dahulu. Kita begitu mudah men-sharing kemana-mana tanpa menyaring informasi terlebih dahulu.

Kemajuan teknologi informasi yang kita terima, tidak otomatis mengubah mindset cara berpikir kita.

Masih segar dalam ingatan kita, para petinggi Mabes Polri begitu “blunder” dengan menyebut aksi tembak menembak antar ajudan mantan Kadiv Propram Polri Irjen Pol Ferdi Sambo sebagai penyebab kematian Brigadir Yoshua. Tidak ada para pejabat Polri yang melihat kejanggalan dan keanehan saat kejadian hingga beberapa hari pasca kejadian sehingga seluruh rakyat Indonesia merasa kena “prank” dari ulah para pejabat Polri tersebut.

Bangsa kita masih terus disibukkan dengan pertanyaan apakah bumi itu bulat atau datar. Apakah volume air dalam gelas akan bertambah atau tetap jika es dalam teh mencair? Kita semua masih direpotkan dengan hal-hal yang remeh –temeh, sementara bangsa lain mulai berpikir untuk mencari kehidupan di planet lain.

Rakyat kita masih terpaku dengan kedigdayaan dan kehebatan dukun sakti mandraguna. Kita kagum dengan cara dukun mengeluarkan paku dan besi dari tubuh orang yang menderita karena ulah santet.

Begitu pesulap merah membongkar segala “permainan” para dukun, kita tergoyahkan dengan pendapat paten yang menyebut dukun adalah orang yang memiliki kemampuan supranatural.

Jangan heran jika sekaliber Wakil Gubernur Jawa Barat, Uu Ruzhaul Ulum, saja memberikan solusi untuk mencegah HIV/AIDS yang meningkat di wilayahnya dengan cara menikah dan poligami.

Menurut Uu, menikah dan poligami akan menjauhkan diri dari perbuatan zina mengingat terbukti perzinahan membawa banyak mudarat. Mulai dari penyakit kelamin menular hingga paling parah terjangkit penyakit HIV/AIDS (Kompas.com, 30 Agustus 2022).

Bisa jadi buah pikir politisi PPP itu menyikapi fenomena melonjaknya penderita HIV/AIDS yang menghebohkan di Kota Bandung. Tanpa mempertimbangkan semua aspek kajian yang melatarbelakangi fenomena tersebut, Wakil Gubernur Uu langsung “ceplas-ceplos” berkomentar di media.

Alhasil, pernyataan sang wakil disanggah oleh Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, untuk meredam suara pro-kontra di masyarakat dan media.

Ada sahabat saya di parlemen yang bertekad harus menyandang gelar doktor, tidak peduli gelar itu akan dibuat apa nantinya. Dia tidak memerlukannya untuk pengembangan ilmu apalagi untuk mengajar kelak.

Baginya menjadi anggota DPR akan lebih “keren” jika ada tambahan gelar di depan namanya setelah sebelumnya sudah berjejer gelar-gelar akademis yang lain di belakang namanya.

Ada pula kisah dosen sederhana yang gaya kehidupannya begitu “sontak” berubah setelah menjabat menjadi rektor sebuah perguruan tinggi negeri di pulau seberang Jawa. Kehidupannya masih semenjana saat didapuk menjadi wakil rektor.

Gelar profesornya membuat dihargai dan ingin dihargai banyak kalangan. Rumah sederhananya bersalin rupa menjadi rumah gedongan.

Bagi kami yang mengandalkan hidup sebagai pengajar, rezeki lebih bisa didapat jika kami menjadi konsultan di luar. Mengandalkan gaji saja sebagai dosen cukup untuk bertahan hidup dengan sederhana.

Berpikiran menjadikan calon mahasiswa sebagai obyek pemerasan harusnya tidak boleh ada dalam diri seorang dosen. Tidak pelak saat dicokok Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), para koleganya begitu kaget ternyata setiap mahasiswa yang masuk melalui jalur mandiri dikenakan “tarif” beragam, berkisar dari Rp 150 hingga Rp 400 juta tergantung fakultas yang dipilih di luar biaya resmi.

Petugas KPK yang menggeladah rumah sang rektor begitu terbelalak menemukan pecahan mata uang asing dan emas batangan setara dengn nilai rupiah yang fantastis, yang diduga sebagai “penimbunan” dari hasil palak calon mahasiswa jalur mandiri.

Tidak tanggung-tanggung, rektor berkolaborasi dengan wakil rektor dan pejabat-pejabat kampus yang lain “memasang” tarif ilegal untuk menjaring fulus orangtua yang ngebet anaknya bisa berkuliah di perguruan tinggi negeri.

Gelar guru besar yang disandangnya bukan untuk pengembangan keilmuan tetapi malah terjerumus dengan sikap hidup hedon yang memuja materi.

Mungkin sang profesor ini tidak mau tahu atau bersikap masa bodoh andai kelak mahasiswa yang “dipalak” berhasil lulus menjadi dokter dan terjun ke masyarakat. Apakah tindakan medis yang dilakukan dokter lulusan jalur mandiri bisa “menyehatkan” pasien atau malah “menyakitkan” pasien.

Dari Palembang, Sumatera Selatan, kita bisa menyimak betapa kesombongan yang disebabkan karena kedudukan menjadi “wakil” rakyat ternyata bisa menumpulkan rasa kemanusiaan. Dengan alasan ingin mendahului antrean kendaraan yang sedang menunggu giliran mendapat isian bahan bakar, seorang anggota dewan Kota Palembang tega menghajar seorang perempuan.

Ajaran dan norma sopan santun bahwa setiap pria harus menghormati kaum perempuan ternyata dilupakan oleh anggota dewan yang terhormat.

Kita kerap kagum dengan prestasi polisi yang berhasil mengungkap aksi kejahatan tetapi kadang kita mahfum dengan “ketajiran” yang umum dimiliki seorang polisi. Pameo setiap kasus bisa diduitin dan duit datang dari setiap kasus, menjadi pandangan umum di masyarakat mengenai polisi.

Dari rekonstruksi kasus pembunuhan Brigadir Joshua di kediaman Irjen Pol Ferdy Sambo kita bisa melihat kemewahan koleksi tas berharga mahal yang dimiliki istri seorang jenderal bintang dua. Dari tayangan Polri TV dan pemberitaan media pula, masyarakat bisa mengetahui koleksi kendaraan yang dimiliki Ferdy Sambo.

Suatu “hal” yang “mustahil” diperoleh jika hanya mengandalkan gaji dan tunjangan jabatan dari jenderal bintang dua. Isu adanya “Kaisar Sambo dan Konsorsium 303” hendaknya menjadi kotak pandora untuk membuka kasus-kasus yang merendahkan harkat sebagai bhayangkara negara.

Kita ingin negara ini memiliki polisi yang benar-benar menjadi polisi. Tidak hanya selebgram, dukun, kepala daerah, profesor, anggota dewan atau polisi saja yang membuat malu dan tidak tahu diri, kelakuan dan ulah tentara di Mimika, Papua juga mencoreng nilai-nilai kemanusian kita.

Dalih penjebakan anggota organisasi kriminal bersenjata tetapi merampok uang milik korban senilai Rp 250 juta bahkan memutilasi para korban adalah perbuatan sadis yang tidak diajarkan di akademi militer mana pun. Institusi TNI menjadi tercoreng di tengah upaya Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan KASAD Jenderal Dudung Abdurachman ingin menjadikan TNI sebagai ksatria negara yang melindungi seluruh anak bangsa tanpa terkecuali.

Tentu saja ketidakmampuan Nasruddin membaca tulisan dalam kertas polos itu disambut dengan kekecewaan mengingat Nasruddin yang bersorban dianggap orang yang tahu segala hal. Pintar dan intelektualitasnya tinggi seperti profesor, karirnya bisa melesat bak Ferdy Sambo serta bisa berkuasa seperti anggota dewan di Palembang.

Sorban yang dianggap kala itu sebagai simbol kepintaran akhirnya dilepaskan oleh Nasruddin Hoja dan dipasangkan ke kepala orang yang buta huruf tersebut. Nasruddin Hoja berharap siapa tahu orang yang buta huruf dan ngeyelan itu bisa membaca tulisan yang ada di kertas putih yang polos karena memakai sorban.

Sudah saatnya kita tidak boleh silau dengan jabatan, gelar, kekayaan materi yang dimiliki seseorang. Saatnya kita meneladani kebaikan seseorang yang berbuat nyata tanpa pamrih dalam kehidupan.

Saatnya kita melepaskan “jubah-jubah” kebesaran yang membelenggu kehidupan. Begitu tipis perbedaan antara kenikmatan dan kesengsaraan, begitu pendek jarak antara kekaguman dan kebencian serta kekayaan dan kemiskinan.

Kemarin Sambo begitu dipuja tetapi kini Sambo menjadi pesakitan. Rektor begitu dikagumi kepandaiannya tetapi sekarang sang kepala universitas itu dihujat bak makelar jahat.

Anggota Dewan yang terhormat dulu begitu disanjung, kini terbanting karena terancam pemecatan dari partainya. Mungkin mereka lupa, negeri ini (masih) memiliki Pancasila.

https://www.kompas.com/tren/read/2022/09/01/070000165/kisah-bedebah-di-negara-pancasila

Terkini Lainnya

Warganet Sebut Pemakaian Kain Gurita Bayi Bisa Cegah Hernia, Benarkah?

Warganet Sebut Pemakaian Kain Gurita Bayi Bisa Cegah Hernia, Benarkah?

Tren
Saat Jokowi Sebut UKT Akan Naik Tahun Depan, tapi Prabowo Ingin Biaya Kuliah Turun

Saat Jokowi Sebut UKT Akan Naik Tahun Depan, tapi Prabowo Ingin Biaya Kuliah Turun

Tren
Bolehkah Polisi Hapus 2 Nama DPO Pembunuhan Vina yang Sudah Diputus Pengadilan?

Bolehkah Polisi Hapus 2 Nama DPO Pembunuhan Vina yang Sudah Diputus Pengadilan?

Tren
Kisah Nenek di Jepang, Beri Makan Gratis Ratusan Anak Selama Lebih dari 40 Tahun

Kisah Nenek di Jepang, Beri Makan Gratis Ratusan Anak Selama Lebih dari 40 Tahun

Tren
Ramai soal Uang Rupiah Diberi Tetesan Air untuk Menguji Keasliannya, Ini Kata BI

Ramai soal Uang Rupiah Diberi Tetesan Air untuk Menguji Keasliannya, Ini Kata BI

Tren
Benarkah Pegawai Kontrak yang Resign Dapat Uang Kompensasi?

Benarkah Pegawai Kontrak yang Resign Dapat Uang Kompensasi?

Tren
Peneliti Ungkap Hujan Deras Dapat Picu Gempa Bumi, Terjadi di Perancis dan Jepang

Peneliti Ungkap Hujan Deras Dapat Picu Gempa Bumi, Terjadi di Perancis dan Jepang

Tren
Pengguna Jalan Tol Wajib Daftar Aplikasi MLFF Cantas, Mulai Kapan?

Pengguna Jalan Tol Wajib Daftar Aplikasi MLFF Cantas, Mulai Kapan?

Tren
BMKG Keluarkan Peringatan Kekeringan Juni-November 2024, Ini Daftar Wilayahnya

BMKG Keluarkan Peringatan Kekeringan Juni-November 2024, Ini Daftar Wilayahnya

Tren
Ada Potensi Kekeringan dan Banjir secara Bersamaan Saat Kemarau 2024, Ini Penjelasan BMKG

Ada Potensi Kekeringan dan Banjir secara Bersamaan Saat Kemarau 2024, Ini Penjelasan BMKG

Tren
Pengakuan Istri, Anak, dan Cucu SYL soal Dugaan Aliran Uang dari Kementan

Pengakuan Istri, Anak, dan Cucu SYL soal Dugaan Aliran Uang dari Kementan

Tren
Biaya Maksimal 7 Alat Bantu Kesehatan yang Ditanggung BPJS, Ada Kacamata dan Gigi Palsu

Biaya Maksimal 7 Alat Bantu Kesehatan yang Ditanggung BPJS, Ada Kacamata dan Gigi Palsu

Tren
Kronologi Mayat Dalam Toren Air di Tangsel, Diduga Tetangga Sendiri

Kronologi Mayat Dalam Toren Air di Tangsel, Diduga Tetangga Sendiri

Tren
Daftar Negara Barat yang Kutuk Serangan Israel ke Rafah, Ada Perancis Juga Jerman

Daftar Negara Barat yang Kutuk Serangan Israel ke Rafah, Ada Perancis Juga Jerman

Tren
Apa Itu Indeks Massa Tubuh? Berikut Pengertian dan Cara Menghitungnya

Apa Itu Indeks Massa Tubuh? Berikut Pengertian dan Cara Menghitungnya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke