FILM bergenre horor besutan sutradara Joko Anwar berjudul Pengabdi Setan 2: The Communion resmi tayang di seluruh bioskop Indonesia tanggal 4 Agustus 2022, dan telah berhasil mendapatkan sekitar 5.577.811 penonton hingga saat ini.
Film sekuel Pengabdi Setan (2017) ini bercerita tentang keluarga Suwono, yaitu Bapak/Bahri Suwono (Bront Paralae), Rini (Tara Basro), Toni (Endy Arfian) dan Bondi (Nasar Anuz) yang tinggal di rumah susun setelah berhasil menyelamatkan diri dari teror hantu ibu/Mawarni Suwono (Ayu Laksmi) di rumah lama mereka yang terletak di pedesaan.
Di film sebelumnya, Rini, Toni, dan Bondi kehilangan ibu dan adik bungsu mereka, Ian (Muhammad Adhiyat) dan di bagian akhir film terungkap fakta bahwa kedua orangtua mereka ternyata merupakan anggota sebuah sekte pengabdi setan.
Mawarni harus menderita, mati, hingga akhirnya menjelma menjadi sosok hantu perempuan yang meneror keluarganya sendiri dan anak terakhir mereka, Ian, ternyata juga merupakan tumbal dari perjanjiannya dengan sekte tersebut.
Sebagai produk dari budaya populer, film merupakan teks dan praktik budaya yang memang dibuat untuk banyak orang dan bertujuan komersil serta kerap mengandung muatan ideologis-politis, tidak terkecuali film Pengabdi Setan 2: The Communion.
Tentunya, bukan hal yang baru bahwa hantu perempuan kerap menjadi tokoh utama dalam film bergenre horor di Indonesia.
Si Manis Jembatan Ancol, Nini Popo, Asih, Suster Ngesot, Kuntilanak, Wewe Gombel adalah deretan nama hantu lokal perempuan yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga masyarakat kita.
Mengapa perempuan kerap menjadi hantu? Dalam bingkai ideologi patriarki, hantu-hantu perempuan merupakan analogi dari subjek perempuan gagal karena tidak mampu menjalankan peran kultural-tradisional secara benar (Permatasari & Widisanti, 2019).
Subjek perempuan yang gagal adalah mereka yang aktif secara seksual, tidak mampu memberikan keturunan, gagal menjadi ibu, dan gagal menjaga virginitas di luar hukum agama dan institusi pernikahan.
Oleh karena itu, mereka sering ditampilkan sebagai monstrous feminine yang merujuk pada tubuh maternal dan feminitas perempuan yang dikonstruksi sebagai sesuatu mengerikan dalam ideologi patriarki (Barbara Creed, 1993).
Senada dengan ini, pemikir feminis Julia Kristeva menggunakan istilah abjek yang berarti tubuh maternal atau feminitas perempuan yang dianggap mengerikan dan menjijikkan sehingga harus disingkirkan dari maskulinitas dengan mengkonstruksi subjek perempuan menyeramkan.
Abjeksi ini tentu saja dialamatkan kepada subjek perempuan karena secara biologis perempuan mengalami menstruasi, dan bisa melahirkan. Keduanya identik dengan cairah tubuh yang dianggap memberikan ketidaknyamanan dan kengerian sehingga harus dieksklusi.
Di banyak produk budaya populer seperti sastra kontemporer, sosok mengerikan tersebut sering ditemukan dalam novel-novel Abdullah Harahap, Hendri Yulius, dan lainnya dengan penggambaran subjek-subjek perempuan yang menyeramkan (Suhendi, 2017).
Dalam kaitannya dengan film Pengabdi Setan 2: The Communion, sosok hantu ibu jelas tidak bisa dilepaskan dari isu gender.
Mawarni dihadirkan sebagai hantu yang sangat menyeramkan dan menebar teror kepada keluarganya sendiri.