Munculnya Mawarni sebagai hantu jahat ini dikarenakan ia secara biologis tidak bisa memberikan keturuan. Sementara ibu mertuanya menuntut cucu sehingga ia dan suaminya terpaksa bergabung dengan sekte pegabdi setan agar bisa memiliki anak.
Susan Blackburn dalam tulisannya Women and the State in Modern Indonesia (2004:139) mengatakan bahwa makna ibu dalam konteks masyarakat kita merupakan figur sakral dan bersifat kodrati dan ada kebanggaan tersendiri dengan menjadi sosok ibu.
Artinya, meskipun telah sah menikah secara agama dan hukum, perempuan belum bisa dikatakan sempurna kodratnya jika ia belum bisa melahirkan anak.
Kondisi inilah yang membuat Mawarni menderita sepanjang cerita dan menjelma menjadi hantu gentayangan penebar teror setelah ia meninggal dunia.
Tema reproduksi sepertinya memang menjadi salah satu tema sentral yang kerap dijumpai dalam beberapa film Joko Anwar seperti Ratu Ilmu Hitam, Perempuan Tanah Jahanam.
Hal tersebut nampaknya masih mengadopsi tradisi film horor klasik yang kerap menampilkan sosok ibu mengerikan (monstrous mother) seperti dalam film The Haunting of Hill House, Asih, Beranak Dalam Kubur dan lain-lain.
Hal ini dapat dimaknai sebagai salah satu penguatan ideologi patriarki secara kolektif tentang pentingnya menjadi subjek perempuan idealisasi oleh masyarakat patriarkal, bukan melawan kodrat atau peran tradisionalnya.
Persoalan gender lainnya dalam film ini juga dapat dilihat dari beberapa tokoh laki-laki yang ditampilkan sebagai figur yang heroik.
Seperti Budiman (Egi Fedly) seorang wartawan yang muncul sebagai tokoh yang mengusir hantu ibu dengan Pear of Anguish, senjata yang biasa digunakan untuk mengusir penyihir perempuan dan bentuknya identik dengan maskulinitas.
Tidak hanya itu, tokoh bapak juga mendapatkan apologi karena di akhir cerita ia dibela oleh Budiman sebagai sosok hero yang rela mati berkorban untuk melindungi anak-anaknya dari teror ibu, meskipun ia sebenarnya orang yang telah membawa Mawarni ikut sekte pengabdi setan.
Meskipun digarap dengan cara baru, secara isi film ini nyatanya masih mengadopsi dan menggulirkan nilai-nilai tradisional dalam kaitannya dengan gender dan hal ini sekaligus mengafirmasi pandangan feminisime yang mempersoalkan budaya populer karena dianggap mengekalkan stereotip gender yang tidak menguntungkan perempuan (Dominic Strinati, 1995).
Selain persoalan gender, ada narasi politis yang juga menarik untuk disimak dalam film ini, yaitu kekejaman rezim Orde Baru melalui operasi Petrus (penembak misterius) tahun 1980-an yang dihadirkan sebagai konteks untuk mengembalikan memori kolektif masyarakat tentang kekuatan militeristik yang sangat dominan pada masa itu.
Hal lain yang dapat diamati dari film Joko Anwar ini adalah kematian para tokoh agama baik di Pengabdi Setan (2017) maupun sekuelnya. Berbeda dari film horor klasik yang kerap menampilkan tokoh agama sebagai pahlawan yang menaklukan hantu.
Di film ini dan juga di beberapa film horor yang diproduksi pasca-Orde Baru, sosok hantu kerap dikalahkan dengan logika maupun benda-benda tertentu ketimbang dengan narasi agama.
Ada apa dengan ini? Untuk menjawab hal ini tentunya diperlukan diskusi lebih lanjut dan kritis.
Namun, terlepas dari diskusi di atas, film ini secara sinematografi dan cerita patut diacungi jempol. Bahkan Joko Anwar disebut-sebut telah berhasil membawa genre film horor Indonesia naik kelas ke level yang lebih baik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.