Andi menjelaskan, faktor klimatologis atau iklim juga berperan besar dalam perubahan suhu di suatu wilayah.
Selain itu, aphelion dan perihelion juga tidak terjadi dalam waktu yang cukup lama. Namun, hanya pada tanggal-tanggal tertentu.
"Hal ini dikarenakan orbit Bumi ikut mengitari Matahari, maka posisi perihelion pada orbit Bumi juga akan bergeser terhadap ekuinoks vernal atau perpotongan orbit Bumi dengan proyeksi katulistiwa pada bola langit," jelas dia.
"Fenomena ini disebut juga presisi apsidal, di mana setiap 50 tahun sekali, tanggal perihelion dan aphelion cenderung bergeser satu hari lebih lambat," lanjutnya.
Baca juga: Peneliti BRIN Berhasil Temukan Dua Spesies Baru Begonia, Endemik di Kepulauan Maluku
Kepala Bidang Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Miming Saepudin menjelaskan suhu dingin belakangan merupakan fenomena yang umum terjadi pada musim kemarau mulai Juli hingga September.
"Periode ini ditandai pergerakan angin dari arah timur yang berasal dari Benua Australia," kata Miming, dikutip dari pemberitaan Kompas.com.
Menurutnya, wilayah Australia pada Juli-Agustus sedang berada dalam periode musim dingin.
Tingginya pola tekanan udara itu menyebabkan terjadinya pergerakan massa udara dari Australia menuju Indonesia atau lebih dikenal dengan Monsun Australia.
Ia menuturkan, angin Monsun Australia bertiup menuju belahan bumi utara dan melewati wilayah Indonesia.
"Kondisi ini turut memicu suhu di beberapa wilayah di Indonesia terutama bagian selatan khatulistiwa seperti Pulau Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara terasa lebih dingin terutama pada malam hari," lanjut dia.
Baca juga: Suhu Dingin di Sejumlah Wilayah Indonesia, BMKG Ungkap Penyebabnya