"Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi," tulis pasal tersebut.
Artinya, sebuah perusahaan/instansi/lembaga bisa mempekerjakan tenaga outsourcing bisa ditugaskan di bagian penunjang, seperti bagian keamanan, kebersihan, dan sebagainya.
Baca juga: Rincian dan Syarat Tenaga Kesehatan Honorer Diangkat Jadi ASN PPPK
Berdasarkan pengertiannya, tenaga outsourcing merupakan tenaga kerja yang berada di bawah perusahaan yang berbeda dengan perusahaan tempatnya berkerja.
Dengan begitu, status hubungan kerja tenaga outsourcing adalah di bawah perusahaan yang mempekerjakannya, bukan perusahaan tempatnya bekerja.
Status hubungan kerja ini dibuktikan melalui surat perjanjian tertulis bisa berupa perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT) atau perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) antara tenaga kerja dengan perusahaan yang memperkerjakannya.
Baca juga: Menpan-RB: Tenaga Outsourcing Tetap Bisa Dipekerjakan di Kementerian/Lembaga Sesuai Kebutuhan
Berdasarkan status hubungan kerja tersebut, sistem gaji, perlindungan, dan jaminan kesejahteraan tenaga outsourcing juga dibebankan kepada perusahaan yang mempekerjakannya.
Kendati demikian, Tjahjo menegaskan bahwa pola ini akan memberikan kepastian bagi para tenaga outsourcing, terutama dalam hal status dan gaji.
“Kalau statusnya honorer, tidak jelas standar pengupahan yang mereka peroleh,” ungkap Tjahjo.
Adapun sistem gaji tenaga outsourcing di perusahaan telah diatur dalam UU Ketenagakerjaan, di mana ada upah minimum regional/upah minimum provinsi (UMR/UMP).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.