Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengapa Marak Fenomena Artis Terjun ke Politik?

Kompas.com - 31/05/2022, 07:00 WIB
Alinda Hardiantoro,
Rendika Ferri Kurniawan

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Unggahan Ketua Badan Pembinaan Kepemimpinan Daerah DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Zulkieflimansyah menjadi viral di sosial media, Instagram pada Sabtu (28/5/2022).

Unggahan dalam rangka ulang tahun PKS yang ke-20 itu menyebut bahwa artis populer Raffi Ahmad merupakan sosok yang pantas untuk dicalonkan PKS di Pilpres 2024.

Pancalonan Raffi menjadi Capres 2024 itu dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa bangsa Indonesia membutuhkan pemimpin dengan pola pikir baru di zaman yang serba menantang ini.

"Ternyata dari ngomong-ngomong informal dengan Kepala-kepala Daerah PKS ini kalau ditanya siapa yang pantas dicalonkan PKS di Pilpres 2024 yang muncul bukanlah Anies Baswedan, Ganjar, dan Prabowo tapi sosok muda seperti Raffi Ahmad," tulis Zulkieflimansyah.

Unggahan tersebut tidak hanya ramai diperbincangkan di media sosial Instagram.

Pasalnya tagar soal Raffi Ahmad juga sempat menjadi topik pembicaraan warganet di Twitter yang membuat tagar tersebut berada di jajaran trending topik Indonesia.

Baca juga: Raffi Ahmad Bakal Didukung Jadi Presiden? Ini Kata Sekjen PKS

Pengamat: pencalonan Raffi Ahmad sensasi belaka

Dilansir dari Kompas.com (30/5/2022), Sekretaris Jenderal Dewan Pimpinan Partai (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Aboe Bakar Al-Habsyi mengatakan bahwa usulan itu hanya guyonan saja.

Aboe Bakar menegaskan, PKS belum memutuskan calon presiden yang akan diusulkan pada Pilpres 2024 nanti.

“Untuk calon presiden siapapun yang bicara masih belum dianggap resmi sebelum Majelis Syuro sampaikan itu,” ujar Aboe.

Menanggapi ini, pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Wijayanto mengungkapkan, pencalonan Raffi sebagai Capres 2024 oleh PKS itu merupakan sensasi belaka.

Pengamat politik dari Universitas Diponegoro (Undip) Semarang Wijayanto menilai Raffi tidak memiliki rekam jejak menjadi pemimpin pemerintahan atau partai politik.

Sehingga, kapasitasnya dalam memimpin negara sangat dipertanyakan bahkan diragukan.

"Jadi menurut saya ini hanya cari sensasi saja," ungkapnya, saat dihubungi oleh Kompas.com, Senin (30/5/2022).

"Atau alasan lainnya karena Raffi punya modal kapital atau ekonomi yang untuk pundi-pundi ekonomi itu bisa saja," imbuhnya.

Baca juga: Angelina Sondakh Segera Bebas, Ini Kasus yang Membuatnya Dipenjara 10 Tahun

Fenomena artis jadi politikus

Fenomena artis yang mendadak jadi politikus bukan merupakan hal yang baru.

Dari tahun ke tahun, ada saja nama artis yang tertulis dalam daftar Pemilihan Umum (Pemilu).

Di kursi DPR saat ini misalnya, ada Mulan Jameela hingga Krisdayanti yang berkarier di dunia hiburan, lantas terjun ke dunia politik.

Wijayanto menjelaskan, fenomena artis jadi politikus justru merefleksikan keadaan kaderisasi partai politik di Indonesia.

"Kalau dari tahun ke tahun ada artis yang masuk ke pemilu yaitu karena merefleksikan bahwa memang kaderisasi partai politik kita itu masih buruk sampai sekarang," jelasnya.

Menurutnya, partai politik yang mencalonkan pemimpin/kepala daerah hingga kepala negara yang bukan berasal dari kadernya sendiri mengindikasikan adanya krisis kaderisasi dalam partai politik itu.

Artinya partai politik tersebut tidak mempunyai kader sendiri sehingga ia mencari orang yang sudah populer, terutama dari kalangan artis.

Hanya untuk dongkrak popularitas partai

Sayangnya, fenomena artis jadi politikus ini terkesan hanya ditujukan untuk mendongkrak popularitas partai.

Sebab, popularitas tersebut tidak diimbangi dengan kapabilitas mereka di dunia politik.

"Masalahnya adalah ada banyak kasus di mana artis yang menjadi anggota dewan, eksekutif, atau pemimpin yang ternyata tidak berperan banyak," tegas Wijayanto.

"Artis-artis ini kemudian hanya menjadi ornamen politik," imbuhnya.

Padahal, Wijayanto mengingatkan bahwa popularitas berbeda dengan elektabilitas.

Mereka yang memiliki popularitas tidak serta merta akan dipilih oleh rakyat.

Krisis kaderisasi ini juga merefleksikan permasalahan partai politik secara umum.

Wijayanto mengatakan, krisis kaderisasi membuat partai politik lamban dalam melakukan reformasi sejak tahun 1998.

Sebagai contoh, terdapat partai yang jabatan ketua umumnya diwariskan ke keturunannya, penentuan calon pemimpin daerah dari partai pusat, hingga sentralisasi politik yang menyebabkan terjadinya politik dinasti dan oligarki politik.

"Partai politik itu satu lembaga politik yang paling penting buat demokrasi, menurut saya, justru paling lambat dalam melakukan reformasi," paparnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com