Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Jaya Suprana
Pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan

Penulis adalah pendiri Sanggar Pemelajaran Kemanusiaan.

Nyawang Sinawang Wisata Halal

Kompas.com - 01/03/2022, 12:10 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SUKA TAK SUKA apa boleh buat fakta membuktikan bahwa pengharaman mau pun penghalalan merupakan bagian hakiki sikap dan perilaku psikososialkultural yang melekat pada peradaban umat manusia ejak dahulu kala sampai masa kini.

Keyakinan

Setiap agama memiliki keyakinan halal-haram masing-masing bukan hanya dalam hal makanan atau minuman, namun juga dalam hal busana, tata krama ritual, perilaku sosial sampai ke bacaan.

Agama Mesir Kuno menghalalkan inses dimulai dengan Isis dan Osiris. Di agama Yahudi makanan halal disebut kosher.

Sebagian umat Budhisme menganggap makanan yang haram adalah yang mengandung daging satwa. Nasrani aliran Advent mengharamkan daging babi.

Sapi menurut umat Hindu di India adalah satwa sakral, maka daging sapi haram dimakan.

Umat Saksi Yehovah mengharamkan buku-buku dongeng termasuk mitologi sebagai mahakarya Iblis demi menyesatkan manusia.

Buku dan film serial Harry Potter diharamkan oleh kelompok Nasrani fundamentalis di Amerika Serikat dan Inggris.

Saya punya teman di Amerika Serikat fanatik mengharamkan buku komik Marvel dan DC. Bahkan Mickey Mouse dan Donald Duck dianggap haram.

Ada pula yang fundamentalis mengharamkan vaksin dengan dalih bahwa vaksin adalah intervensi manusia terhadap KemahaKuasaan Yang Maha Kuasa.

Wisata Halal sudah menjadi bagian melekat pada Industri Pariwisata Planet Bumi abad XXI.

Presiden Jokowo menegaskan Indonesia saat ini dinobatkan sebagai negara wisata halal paling terkemuka di dunia.

Wisata halal

Dari sahabat saya sang tokoh adiboga Nusantara, Indra Ketaren, saya memperoleh kiriman naskah cukup menarik di-sawang-sinawang sebagai gerbang pemikiran tentang apa yang disebut sebagai Wisata Halal.

Demi menghindari salah kutip maka saya muat bagian prakata naskah tersebut secara utuh sebagai berikut:

Presiden Jokowi mengatakan Indonesia saat ini dinobatkan menjadi wisata halal nomor satu dunia.

Pertanyaannya sampai sejauh mana kesiapan Pemerintah mengambil peluang dari potensi wisata halal ini, karena negara-negara tetangga (seperti Malaysia, Singapore, Thailand termasuk Korea Selatan, Taiwan & Jepang), sangat agresif mendapatkan porsi kue ekonomi dari wisata Muslim ini.

Indikator perjalanan wisata halal dunia (bisnis kepariwisataan) bisa menjadikan Indonesia mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih baik dalam waktu dekat.

Untuk diketahui sejak tahun 2016, jumlah industri wisata Muslim telah tumbuh hampir 30 persen dan diproyeksikan selama dekade berikut kontribusi sektor ini terhadap ekonomi global akan meningkat menjadi 300 miliar dollar AS dari 180 miliar dollar As per tahun.

Global Islamic Economy Report mencatat untuk tahun 2016 sekitar 176,9 miliar dollar AS telah dibelanjakan umat Muslim untuk urusan perjalanan (travelling) ke berbagai negara.

Kontribusi ini sebesar 11,9 persen dari total pengeluaran global pariwisata dunia (tidak termasuk haji dan umrah).

Diperkirakan pada tahun 2022 akan mencapai 268,5 milyar dollar AS atau meningkat 40 persen (GIE Report).

Sedangkan menurut catatan Laporan Ekonomi Global di tahun 2017 angka kontribusi sektor ekonomi umat Islam secara global sebesar 169 miliar dollar AS.

Terminologi

Dari naskah kiriman mas Indra Ketaren dapat ditarik kesimpulan bahwa masalah utama Wisata Halal di beberapa (tidak semua) wilayah Indonesia pada hakikatnya terletak pada pemahaman saling beda terhadap terminologi Wisata Halal itu sendiri.

Maka adalah lebih bijak bagi yang alergi istilah Wisata Halal sebaiknya mencari istilah lain yang lebih tidak rawan memicu kemelut polemik.

Atau malah lebih bijak lagi jangan gunakan istilah yang tidak disukai oleh masyarakat yang kebetulan tidak suka, apalagi alergi terhadap istilah yang tidak mereka sukai.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com