Dua hari setelah Perjanjian Giyanti, tepatnya pada 15 Februari 1755, Gubernur VOC Nicolaas Hartingh, Sultan Hamengku Buwono I, serta beberapa pengawalnya berangkat menuju Jatisari yang berada di titik tengah antara Surakarta dan Giyanti.
Kepergian rombongan tersebut guna melaksanakan pertemuan dengan Paku Buwono III untuk tujuan rekonsiliasi setelah Perjanjian Giyanti.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Baha’Uddin dan Dwi Ratna Nurhajarini dari program studi Sejarah, Universitas Gadjah Mada (UGM), di Jatisari, kedua penguasa Jawa tersebut bertemu sebagai raja yang berkedudukan sama.
Pada pertemuan tersebut, Paku Buwono III menghadiahi sang paman Hamengku Buwono I sebuah Keris Kyai Agung Kopek yang diturunkan dari Sultan Kalijaga.
Saat ini, Keris Kyai Ageng Kopek berada di lingkungan Keraton Yogyakarta dan hanya dipegang oleh Sultan yang bertahta sebagai lambang pemimpin rohani dan duniawi.
Paling penting dalam Pertemuan Jatisari, pembahasan mengenai peletakan dasar kebudayaan bagi masing-masing kerajaan.
Bahasan di dalam perjanjian ini meliputi tata cara berpakaian, adat istiadat, bahasa, gamelan, tari-tarian, dan lain-lain.
Inti dari pertemuan ini adalah Sultan Hamengku Buwono I memilih untuk melanjutkan tradisi lama budaya Kerajaan Mataram.
Sementara Sunan Paku Buwono III sebagai raja yang lebih muda sepakat memodifikasi atau menciptakan bentuk budaya baru dengan tetap berlandaskan pada budaya lama.
Baca juga: Pertemuan Jatisari, Awal Mula Perbedaan Budaya Surakarta dan Yogyakarta