Sebelum menulis, alangkah baiknya kita memahami substansi penulisan dengan cara membaca.
Dengan begitu, kita sekaligus membuka cakrawala pengetahuan agar bisa menjadi paradigma berpikir baru sehingga tidak berada dalam pemikiran yang sempit.
Membaca bisa dimulai dari buku-buku sastra, sejarah, atau politik.
Menurut Agnes Setyowati, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Pakuan, yang dikutip dalam artikel Kompas.com “Sastra: Antara Hiburan, Kritik, dan Perubahan”, dengan membaca sastra, kita diajak untuk peka terhadap kemanusiaan.
Dengan demikian, kepekaan tersebut membawa kita menjadi semakin bijaksana.
Karya sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang ada meskipun itu berbentuk fiksi.
Sebab, hubungan sastra dengan realitas sosial digambarkan oleh penulisnya yang hidup dalam fenomena sosial tertentu.
Misalnya, sastrawan Wiji Thukul yang mengkritik era Orde Baru dalam sajak “Peringatan”.
“Sewaktu saya ikut dalam pergerakan, buku-buku selalu berada di samping saya, seperti buku Di Bawah Bendera Revolusi oleh Soekarno, buku-buku Tan Malaka, dan karya Pramoedya Ananta Toer,” ujar Puthut EA, di episode “Puthut EA, Reformasi 98 Bukan Gerakan Mahasiswa dan Tips Merawat Sokrates” dalam siniar Beginu.
Menurut dia, dengan membaca buku-buku tersebut, energi perjuangan akan hadir kembali dalam dirinya sehingga membawanya semangat untuk menulis.
Selain membaca buku, Puthut kemudian memberikan tips sebelum memulai menulis dengan meniru tulisan yang sudah ada.
“Saya dulu meniru Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, Imam Simatupang, dan masih banyak lagi,” ungkapnya.
Puthut mengatakan, ketika sudah terbiasa meniru, nantinya kita akan menemukan karakter tulisan sendiri.
Bahkan, menurut dia, karakter tulisan seseorang itu bukan disimpulkan dari seratus tulisan pertamanya, melainkan bisa saja tulisan-tulisan sesudahnya.
Ia juga menambahkan bahwa kita bisa menggambarkan sesuatu jauh lebih runtut apabila terbiasa menulis.