Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Menulis sebagai Ekspresi Keresahan, Kreativitas, dan Kritik

Kompas.com - 20/01/2022, 06:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Membaca buku sebagai modal kritik sosial

Sebelum menulis, alangkah baiknya kita memahami substansi penulisan dengan cara membaca.

Dengan begitu, kita sekaligus membuka cakrawala pengetahuan agar bisa menjadi paradigma berpikir baru sehingga tidak berada dalam pemikiran yang sempit.

Membaca bisa dimulai dari buku-buku sastra, sejarah, atau politik.

Menurut Agnes Setyowati, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Budaya Universitas Pakuan, yang dikutip dalam artikel Kompas.com “Sastra: Antara Hiburan, Kritik, dan Perubahan”, dengan membaca sastra, kita diajak untuk peka terhadap kemanusiaan.

Dengan demikian, kepekaan tersebut membawa kita menjadi semakin bijaksana.

Karya sastra tidak dapat lepas dari realitas sosial yang ada meskipun itu berbentuk fiksi.

Sebab, hubungan sastra dengan realitas sosial digambarkan oleh penulisnya yang hidup dalam fenomena sosial tertentu.

Misalnya, sastrawan Wiji Thukul yang mengkritik era Orde Baru dalam sajak “Peringatan”.

“Sewaktu saya ikut dalam pergerakan, buku-buku selalu berada di samping saya, seperti buku Di Bawah Bendera Revolusi oleh Soekarno, buku-buku Tan Malaka, dan karya Pramoedya Ananta Toer,” ujar Puthut EA, di episode “Puthut EA, Reformasi 98 Bukan Gerakan Mahasiswa dan Tips Merawat Sokrates” dalam siniar Beginu.

Menurut dia, dengan membaca buku-buku tersebut, energi perjuangan akan hadir kembali dalam dirinya sehingga membawanya semangat untuk menulis.

Tuangkan pikiran lewat menulis

Selain membaca buku, Puthut kemudian memberikan tips sebelum memulai menulis dengan meniru tulisan yang sudah ada.

“Saya dulu meniru Budi Darma, Seno Gumira Ajidarma, Imam Simatupang, dan masih banyak lagi,” ungkapnya.

Puthut mengatakan, ketika sudah terbiasa meniru, nantinya kita akan menemukan karakter tulisan sendiri.

Bahkan, menurut dia, karakter tulisan seseorang itu bukan disimpulkan dari seratus tulisan pertamanya, melainkan bisa saja tulisan-tulisan sesudahnya.

Ia juga menambahkan bahwa kita bisa menggambarkan sesuatu jauh lebih runtut apabila terbiasa menulis.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com