Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Medio by KG Media
Siniar KG Media

Saat ini, aktivitas mendengarkan siniar (podcast) menjadi aktivitas ke-4 terfavorit dengan dominasi pendengar usia 18-35 tahun. Topik spesifik serta kontrol waktu dan tempat di tangan pendengar, memungkinkan pendengar untuk melakukan beberapa aktivitas sekaligus, menjadi nilai tambah dibanding medium lain.

Medio yang merupakan jaringan KG Media, hadir memberikan nilai tambah bagi ranah edukasi melalui konten audio yang berkualitas, yang dapat didengarkan kapan pun dan di mana pun. Kami akan membahas lebih mendalam setiap episode dari channel siniar yang belum terbahas pada episode tersebut.

Info dan kolaborasi: podcast@kgmedia.id

Menulis sebagai Ekspresi Keresahan, Kreativitas, dan Kritik

Kompas.com - 20/01/2022, 06:40 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Fauzi Ramadhan & Brigitta Valencia Bellion

DALAM sejarah perpolitikan Indonesia, negara ini mengalami banyak dinamika. Di masa-masa tersebut banyak sekali guncangan politik yang melibatkan banyak golongan, baik militer, masyarakat, maupun golongan intelektual seperti mahasiswa.

Setiap era memiliki pemimpin dan gayanya sendiri. Akan tetapi, yang paling dekat dengan masa modern ini adalah perpindahan dari Orde Baru menuju Reformasi pada 24 tahun lalu.

Era pasca-Soeharto ini adalah masa ketika sekat-sekat perpolitikan yang militeristik dan represif di Orde Baru mulai dihapus.

Kemudian, ia digantikan oleh napas baru demokrasi yang berlandaskan Pancasila.

Menurut Muhammad Umar Syadat Hasibuan dalam buku Revolusi Politik Kaum Muda (2008), reformasi lahir setelah negara Indonesia mengalami krisis yang melanda berbagai aspek, mulai dari ekonomi, politik, hukum, kepercayaan, hingga kebutuhan pokok.

Krisis-krisis ini hadir di penghujung era Orde Baru sehingga terjadi gerakan masif yang berusaha untuk melengserkan kepemimpinan militeristik Soeharto.

Metode gerakan yang digunakan sangatlah beragam, tidak hanya turun ke jalan, tetapi juga kritik sosial lewat tulisan, sastra, dan seni.

Sebut saja Wiji Thukul, Nezar Patria, dan Puthut EA sebagai tokoh-tokoh pelopor gerakan kritik melalui tulisan, sastra, dan seni.

Kini, di era modern, dinamika politik kian berkembang. Ruang-ruang demokrasi telah hadir bagi seluruh masyarakat.

Akan tetapi, penyelewengan kekuasaan, tindak korupsi, kolusi, dan nepotisme masih menjadi suatu parasit yang hinggap di era reformasi ini.

Bahkan, menurut survei yang diadakan SMRC pada September 2021, masyarakat yang menilai kondisi perpolitikan nasional semakin buruk bertambah 9,9 persen menjadi 24,4 persen dalam dua tahun.

Untuk mengatasinya, kritik-kritik sosial dan politik harus tetap disuarakan sehingga demokrasi tetap terawat dengan baik.

Tak harus turun ke jalan, kini setiap orang dapat melakukannya lewat karya-karya kreatif, seperti tulisan dan sastra.

Lantas, bagaimana cara kita untuk menuangkan aspirasi, keresahan, dan kritik sosial yang baik dan kreatif? Simak penjelasan berikut.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com