Di sisi lain, epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman mengatakan bahwa hal yang perlu diketahui dalam pemilihan strategi testing khususnya dalam negeri itu harus merujuk pada strategi kesehatan masyarakat.
Hal ini tentu berbeda dengan strategi klinis di rumah sakit untuk mendeteksi virus.
"Kalau di rumah sakit untuk fasilitas isolasi/karantina harus konfirmasi dengan RT-PCR, itu hal yang umum," ujar Dicky saat dihubungi terpisah oleh Kompas.com, Selasa (9/11/2021).
Sementara untuk kepentingan masyarakat, menurut Dicky yang terpenting tes dapat untuk mendeteksi penularan dan hasilnya cepat.
Karena itu menurutnya strategi yang dipilih harus efektif, mudah, dan cepat untuk masyarakat.
Kemudian, karena bakal digunakan oleh masyarakat di mana dilakukan secara massal, pemerintah harus memperhatikan dari segi harga dan keakuratan alat kesehatan itu.
Karena akan digunakan secara masif, ada baiknya mencari yang efektif dan murah.
Diketahui, biaya testing menggunakan RT-PCR paling tinggi seharga Rp 495.000, sedangkan untuk biaya testing antigen paling tinggi Rp 99.000 untuk Jawa-Bali dan Rp 109.000 untuk luar Jawa-Bali.
Dicky menambahkan, menurut riset terakhir di University of College London pada Oktober 2021, bahwa rapid test antigen sangat berguna bagi sarana atau tools kesehatan bagi public health untuk memutus potensi transmisi virus.
"Orang yang memiliki hasil positif dari rapid tes antigen dipercaya harus tidak boleh ke mana-mana harus diisolasi," ujar Dicky.
Antigen menurut dia juga efektif sebagai alat tes untuk misalnya orang masuk event besar, musik, olahraga, dan juga perjalanan.
Kemudian, hasil riset juga menyebutkan, rapid tes antigen memiliki keakuratan sebesar 80 persen efektif mendeteksi setiap level Covid-19 dari awal.
Bahkan akurasinya meningkat hingga 90 persen dalam mendeteksi Covid-19 pada orang yang infeksius.
Baca juga: Apakah Peserta SKB CPNS Wajib Bawa Hasil Tes PCR/Antigen? Ini Kata BKN