Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Klaster Sekolah Bermunculan Pasca PTM, Ini Evaluasi Epidemiolog

Kompas.com - 24/09/2021, 18:30 WIB
Nur Fitriatus Shalihah,
Inggried Dwi Wedhaswary

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Pembelajaran tatap muka (PTM) di berbagai daerah telah dimulai. Pasca digelarnya pembelajaran tatap muka, muncul klaster-klaster sekolah.

Melansir Kompas.tv, Jumat (24/9/2021), menurut data Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud Ristek), berdasarkan wilayah, klaster pembelajaran tatap muka terbanyak terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Nusa Tenggara Timur.

Berdasarkan data 23 September 2021, ada 1.302 klaster sekolah. Klaster terbanyak di Sekolah Dasar dengan 583 klaster; PAUD 251 klaster, SMP 244 klaster, SMA 109 klaster, SMK 70 klaster, dan SLB 13 klaster.

Meski klaster sekolah merebak, tetapi Mendikbudristek Nadiem Makarim menegaskan sekolah tatap muka tidak akan dihentikan.

Baca juga: Tanggapan Resmi Kemendikbud Ristek Terkait Isu Klaster PTM Terbatas

Evaluasi epidemiolog

Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman, menyarankan. sebaiknya ada penundaan PTM bagi daerah yang memiliki klaster di sepertiga dari total sekolah di daerah.

"Untuk daerah yang memiliki klaster di 1/3 sekolah yang ada, sebaiknya ditunda 2 minggu guna evaluasi dan juga 3T karantina," kata Dicky kepada Kompas.com, Jumat (24/9/2021).

Menurut dia, pembelajaran tatap muka harus dihentikan jika ditemukan dua atau lebih kasus yang secara epidemiologis terkait dengan kasus indeks yang kemungkinan tertular infeksi SARS-CoV-2 di sekolah.

Untuk mencegah potensi penyebaran dengan cepat dan tidak terkendali, disarankan ada penutupan minimal 14 hari.

Dicky juga menjelaskan, dalam komunitas yang mengalami peningkatan insiden Covid-19 yang cepat atau terus-menerus atau beban kapasitas perawatan kesehatan yang parah, sekolah dapat memutuskan untuk sementara waktu menutup sekolah.

Hal ini perlu di dilakukan hingga tingkat penularan komunitas stabil.

Terkait banyaknya klaster sekolah di Indonesia, menurut Dicky, pemerintah harus mulai mencari tahu titik lengahnya.

Dari pengalaman negara-negara lain, kata dia, klaster sekolah muncul karena ada pengabaian, antara lain:

  • Melepas masker
  • Makan di luar
  • Tidak enak badan tetapi tetap masuk
  • Warga sekolah belum divaksinasi

Menurut Dicky, sebaiknya warga sekolah dilarang datang ke sekolah saat PTM jika mengalami:

  • Ddemam
  • Sakit tenggorokan
  • Batuk (bukan alergi)
  • Kesulitan bernapas (bukan asma)
  • Diare atau muntah
  • Kehilangan rasa atau membau
  • Sakit kepala parah baru timbul, terutama dengan demam.

Ia mengingatkan, adanya salah satu gejala di atas umumnya menunjukkan seseorang menderita penyakit menular. Mereka tidak boleh bersekolah, terlepas dari apakah penyakitnya Covid-19 atau bukan.

Untuk sekolah yang telah menjadi klaster, Dicky menekankan, perlunya edukasi guru, staf, dan keluarga untuk tetap tinggal di rumah saat mereka sakit atau terpapar. Selain itu, perlu pula edukasi kapan mereka bisa kembali ke sekolah.

Sekolah juga harus bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat untuk memfasilitasi pelacakan kontak siswa, guru, dan staf yang terinfeksi.

Lakukan pula isolasi kasus yang konsisten dan karantina kontak dekat.

"Definisi kontak dekat adalah seseorang yang berada dalam jarak 2 meter dari seseorang yang didiagnosis dengan Covid-19 selama total 15 menit atau lebih selama periode 24 jam," kara Dicky.

Mereka yang kemungkinan terpapar Covid-19, baik siswa, guru, dan staf, harus menjalani karantina.

Selain itu, kontak dekat yang diidentifikasi melalui pelacakan kontak, harus dikarantina kecuali mereka telah divaksinasi penuh atau telah dites positif dalam 3 bulan terakhir, dan tidak memiliki gejala apa pun.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com