Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Ren Muhammad

Pendiri Khatulistiwamuda yang bergerak pada tiga matra kerja: pendidikan, sosial budaya, dan spiritualitas. Selain membidani kelahiran buku-buku, juga turut membesut Yayasan Pendidikan Islam Terpadu al-Amin di Pelabuhan Ratu, sebagai Direktur Eksekutif.

Kesadaran Niskala lan Nirtresna

Kompas.com - 30/08/2021, 15:46 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Dalam era ini, manusia berperan penting menentukan kelangsungan kehidupan di bumi. Hal itu terlihat dari perubahan alam drastis yang terjadi belakangan, yang berkaitan dengan perusakan hutan, pemanasan global, perubahan iklim, dan kehancuran ekologi.

Disadari atau tidak, kerusakan alam yang terjadi, berpengaruh juga terhadap bencana dahsyat yang sering kali menerpa kehidupan manusia. Pandemi korona satu di antaranya.

Usai masa ini, kita akan terus menelan buah simalakama yang pohonnya telah kita tanam sejak seabad lalu. Daku mafhum bila dikau teramat sering dilamun gebalau tak berujung terkait dunia yang kian absurd ini.

Apalagi memahami gerak-gerik jiwa sendiri. Sudah pasti itu sangat menyusahkan laku lampah kita.

Tapi tenang saja. Sampai akhir hayat, sedikit saja yang bisa kaumengerti dari kehidupan ini. Lantaran memang sedikit saja yang telah dibabar semesta ini tuk kita resapi.

Mari kita buktikan...

Sanggupkah kautalar usia semesta yang 13,8 milyar tahun cahaya itu? Sudah pasti tak. Tapi akan mudah bagimu mengerti perjalanan umur sendiri. Betul kan?

Semoga panjenengan jeli menelaah bagian ini. Kita hanya anak-anak waktu yang lahir dan tumbuh dalam ketiadaan.

Waktu adalah ilusi

 

Waktu pada dasarnya adalah ilusi yang diciptakan pikiran guna membantu kita merasakan kehadiran dalam cakrawala peristiwa nan luas.

Tanpa neuron untuk menciptakan persepsi virtual tentang masa lalu dan masa depan—berdasar semua pengalaman kita, takkan ada keberadaan kiwari bagi keduanya.

Semua yang ada hanyalah saat ini. Kita mestinya mafhum bahwa perbedaan antara masa lalu, kini, dan nanti, sekadar ilusi yang gigih.

Konsepsi waktu bagi kita, tak lebih agar semua tak terjadi sekaligus secara bersamaan, dan kita tak kebingungan dengan adanya ingatan, kenangan, masa lalu, dan masa depan.

Kita bahkan tak perlu berupaya menjadi tua. Saban detik usia kita kelana yudha. Tapi kita perlu mendewasakan diri, tuk memafhumi rahasia perjalanan diri.

Kita hanya sedang menunggu giliran. Pergi nan ditinggalkan. Memberi jalan pada yang lain. Hadir mengisi ruang kosong kehidupan. Lah semua mesti nirtresna. Tak melekat. Pun begitu kita tak jua sudah.

Meratapi kelahiran yang bahkan tiada pernah diminta. Segala yang terjadi hari ini, juga sudah terjadi sebelumnya, dan akan terjadi lagi pada masa mendatang. Di antara ketiganya, kita hanya sekadar buah bibir belaka.

Hidup punya alur cerita yang disarati rahasyam. Dalam tiap rangkaian, terselip riwayat panjang penciptaan. Dari Cahaya kita meng-Ada untuk berbahagia. Menuju ketiadaan abadi. Ia kan terus memberi segala sesuatu yang bahkan tak pernah kita minta, dan meminta apa yang semestinya kita beri pada kehidupan.

Takdir kita dimulai dari tangan yang menggenggam kekosongan, lantas kita pergi jauh menunggangi kehampaan. Mencintai dicintai semesta kehidupan. Mengajari manusia kasih sayang tuhan.

Diri yang sadar itu, tidak terseret ruang waktu. Tak menguap begitu saja. Weruh sepenuhnya kalau sedang jadi manusia. Tahu dan kenal diri. Ngeh pada setiap kejadian. Mawas dalam perjalanan usia.

Senasib sepenanggungan

 

Kendati begitu, kehadiran kita di dunia adalah rangkaian mutiara ketidaktahuan purba, tak terpecahkan. Karena kita semua sama dalam tataran ini, menurut hemat kami, kini kita harus menumbuhkan lagi rasa senasib sepenanggungan.

Tepo seliro. Bahu membahu. Bergotong royong menolong sesama saudara. Jangan lagi ada yang menari di atas penderitaan liyan.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com