Penjelasan yang disampaikan pimpinan Kementerian Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan kala itu sudah mendapat sambutan hangat dari para wakil rakyat.
Sayangnya untuk melaksanakannya terbentur pada masalah anggaran belanja.
Hal itu bisa dimaklumi, mengingat ketika itu keuangan negara cukup suram. Sementara, biaya untuk pelaksanaan wajib belajar cukup besar.
Meski begitu gagasan itu tidak mati.
Pada 1954 gagasan itu digunakan untuk gerakan pemberian penerangan ke daerah-daerah.
Baca juga: Hari Ini Setahun Lalu, Kita Semua Diminta Bekerja dan Belajar dari Rumah...
Pada 1955 wajib belajar mulai diuji coba di beberapa Dati II (kabupaten/kotamadya). Hingga 1969 tercatat ada 154 Dati II yang mencoba wajib belajar.
Untuk mendukung terciptanya program wajib belajar, telah dilakukan berbagai upaya. Bagi anak normal disediakan SD biasa (konvensional) dan Madrasah Ibtidaiyah.
Bagi anak dengan ekonomi lemah disediakan SD Pamong dan program Kejar Paket A. Sementara itu untuk daerah terpencil dengan penduduk sedikit dilayani dengan SD Kecil.
Sedangkan bagi anak dengan keterbatasan disediakan Sekolah Luar Biasa (SLB A, B, C, D, dan E), Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB), dan Sekolah Dasar terpadu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.