KOMPAS.com - Presiden Joko Widodo meminta masyarakat untuk lebih aktif dalam menyampaikan kritik dan masukan terhadap kerja-kerja pemerintah.
Sementara di saat bersamaan, pihaknya juga meminta penyelenggara layanan publik terus meningkatkan kinerja.
Jokowi menyadari bahwa masih banyak kinerja pemerintah yang perlu diperbaiki, termasuk dalam penanganan pandemi Covid-19.
"Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, atau potensi maladministrasi. Dan para penyelenggara layanan publik juga harus terus meningkatkan upaya perbaikan-perbaikan," kata Jokowi dalam acara Peluncuran Laporan Tahunan Ombudsman RI Tahun 2020, Senin (8/2/2021).
Baca juga: Jokowi Minta Masyarakat Lebih Aktif Sampaikan Kritik dan Masukan
Tak lama setelah pidato Presiden Jokowi tersebut ramai diberitakan, hal itu langsung mendapat respons dari banyak warganet.
Mereka menyoroti adanya Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang kerap menjadi bumerang bagi orang yang menyampaikan kritik.
Cabut dulu pasal karet di UU ITE, KUHP, dan UU lainnya Pak ???? https://t.co/Spx1uaWOes
— Yoes C. Kenawas (@yoeskenawas) February 8, 2021
Lalu kena UU ITE dan masuk penjara. pic.twitter.com/4z3C3lx70n
— Ardian Panca K. (@ardianpancaa) February 8, 2021
UUITE: assalamualaikum https://t.co/IVHyVrbPID
— haduhaduh (@bintangemon) February 8, 2021
Lantas, apa hubungannya antara kritik pemerintah dengan UU ITE?
Terkait perbedaan antara kritik dan pencemaran nama baik, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Fajar Junaedi menyatakan bahwa keduanya berbeda.
"Kritik ditujukan pada aspek substansi persoalan yang terjadi, sedangkan pencemaran nama baik terjadi ketika tendensi kritik adalah aspek individu atau lembaga secara personal," katanya saat dihubungi Kompas.com, Selasa (9/2/2021).
Baca juga: Jokowi Minta Warga Aktif Kritik, Anggota DPR: Tak Satu Kata dengan Perbuatan
Sementara itu, menurut Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto, bahwa kritik yang disampaikan terkait dengan kinerja perusahaan, kinerja institusi, kinerja pejabat publik itu tidak bisa dikategorikan sebagai pencemaran nama baik.
Ia mencontohkan mengenai seseorang yang kesal dan marah lantaran jalanan umum rusak, padahal ia sudah membayar pajak.
Ujaran atau penyampaian kekecewaan semacam itu tidak serta-merta disebut sebagai pencemaran nama.
"Ada yang memberi kritik, ada yang sekadar menyampaikan unek-unek. Mungkin itu treatment kekesalan, dan kekesalan itu manusiawi atas respon emosional," kata Damar.
Dia menambahkan, seharusnya kritik atau ujaran sejenis itu dapat menjadi evaluasi atas kinerja pejabat publik, bukannya dijerat dengan pencemaran nama baik atau ujaran kebencian.
Pihaknya mengapresiasi upaya Jokowi untuk mengingatkan masyarakat mengenai kritik dan hak menyampaikan pendapat adalah hal yang dilindungi konstitusi.
Baca juga: Hari Pers Nasional, Setkab: Kita Butuh Kritik Terbuka, Pedas, dan Keras dari Pers