KOMPAS.com - Nahdlatul Ulama (NU) genap berusia 95 tahun, tepat pada hari ini, Minggu (31/1/2021).
Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siradj mengatakan, NU telah memiliki perjalanan panjang dan memberikan andil kontribusi untuk bangsa Indonesia.
"NU hampir 100 tahun, bahwa menunjukan sudah panjang perjalanannya, sudah banyak andil kontribusinya untuk bangsa ini, sudah banyak lika-likunya. Kadang menjumpai perjalanan yang mudah, tapi tidak sedikit kita jumpai perjalanan yang terjal," kata Said dalam pidatonya pada acara 'Konser Amal dan Harlah NU Ke-95 secara virtual, Sabtu (30/1/2021).
Baca juga: Hari Ini dalam Sejarah: Muhammadiyah Didirikan di Yogyakarta, Bagaimana Awal Mulanya?
Lantas, bagaimana sejarah berdirinya NU?
Diberitakan Kompas.com, 31 Januari 2019, pada 1918, KH Wabah Chasbullah dan KH Hasyim Ahsari merupakan tokoh di balik Nahdlatul Tujjar atau kebangkitan para usahawan.
Meski tak panjang, organisasi ini berhasil menghimpun dana yang besar, dan berkembang menjadi basis perekonomian rakyat.
Pada awal abad XX, muncul polemik di dunia Islam terkait gerakan pemurnian agama, disertai tendensi menentang ajaran tradisional.
Baca juga: Pesantren dan Lembaga Pendidikan Islam Dapat Bantuan Operasional, Ini Ketentuan dan Prosedurnya
Sejumlah kelompok Islam di Indonesia mulai mengambil sikap atas gerakan pemurnian ini.
Setelah itu, digelar Kongres Al Islam di Yogyakarta pada 1925, dan disepakati perlunya kebebasan bermahzan dan peduli terhadap warisan peradaban.
KH Hasyim Asy'ari ditunjuk sebagai Rais Akbar dalam organisasi baru.
Baca juga: INFOGRAFIK: Susunan Dewan Pimpinan Harian MUI 2020-2025
Pada 31 Januari 1926 disepakati berdirinya wadah persatuan ulama dalam mempimpin umat menuju tercapainya "izzul Islam wal Musmlimin" atau kemuliaan Islam dan Muslim, yaitu Nahdlatul Ulama (NU).
Kemudian, Hasyim Asy'ari merumuskan kitab Qanun Asasi (prinsip dasar) dan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut menjelaskan latar belakang dari khittah NU, yakni sebagai dasar berpikir dan bertindak dalam sosial, agama maupun politik.
Baca juga: Ini Susunan Lengkap Dewan Pimpinan Harian MUI Periode 2020-2025
Lambat laun, NU tumbuh menjadi organisasi yang mendapat respons positif dari masyarakat, tak hanya dari lingkungan pesantren.
Pada 1935, NU mendeklarasikan konsep Darussalam, yang tidak mengharuskan berdirinya negara Islam dan menjunjung tinggi keberagaman.
Tak hanya itu, NU juga mengeluarkan sebuah resolusi untuk menanggapi peluang kembalinya penjajah pasca-kemerdekaan.
Baca juga: Apa Itu RUU HIP yang Dipersoalkan NU dan Muhammadiyah?
Pada 1935, NU punya 68 cabang dengan 67.000 anggota.
Kemudian pada 1938, berkembang jadi 99 cabang, termasuk di luar Jawa. Organisasi baru tersebut tumbuh secara mandiri.
Saat Inggris mulai datang ke Surabaya, NU menerapkan "Resolusi Jihad".
Baca juga: Ramai soal Merger Bank Syariah, Ini Pendapat Sekjen MUI
Peran ini begitu terlihat pada 21 dan 22 Oktober 1945, saat pengurus NU se-Jawa dan Madura menggelar pertemuan di Surabaya untuk menyatakan sikap setelah mendengar tentara Belanda berupaya kembali menguasai Indonesia dengan membonceng Sekutu.
Pada 22 Oktober 1945, KH Hasyim Asy'ari menyerukan imbauan kepada para santri untuk berjuang demi Tanah Air.
Resolusi disampaikan kepada pemerintah dan umat Islam Indonesia untuk membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa. Hasil dari resolusi ini membawa pengaruh yang besar.
Baca juga: 22 Oktober, Mengingat Kembali Sejarah Penetapan Hari Santri
Pada 1945, NU bergabung dalam Partai Masyumi di mana Hasyim Asy'ari menjadi Ketua Majelis Syuro.
Pada tingkat nasional terdapat perbedaan mencolok antara tokoh-tokoh NU dengan tokoh-tokoh Masyumi.
Tokoh-tokoh NU merupakan lulusan pesantren, sedangkan tokoh-tokoh Masyumi alumni sekolah Barat dan universitas. Selain itu, juga terdapat perbedaan pemikiran keagamaan.
Baca juga: Mengintip Jejak Pendirian Masyumi, Partai yang Kini Dideklarasikan Lagi...
Pada 1952, NU meninggalkan Masyumi dan memproklamasikan diri menjadi partai politik dua tahun sesudahnya.
Lebih lanjut, NU ingin ikut berkontestasi dalam ajang politik.
Suaranya juga menakjubkan, di mana NU berhasil menduduki urutan ketiga pada Pemilu 1955.
Wakil-wakilnya juga berhasil mendukuki sejumlah kabinet pemerintahan ketika itu.
Baca juga: Saat Kursi Menteri Jadi Rebutan Partai Politik...
Bahkan dalam Pemilu 1971, NU berhasil menempati peringkat dua di bawah Golkar.
Sementara itu, pada 1973, Partai NU bergabung dengan partai-partai Islam ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Walau unsur terbesar di dalam PPP, NU kurang berperan akibat intervensi pemerintah.
Baca juga: Mengapa Indonesia Tak Memiliki Partai Buruh?
Pada Muktamar 1984, NU menegaskan Khittah NU 1926 yang antara lain menegaskan NU menjaga jarak yang sama terhadap semua partai Islam, yang dimaknai dengan keluarnya NU dari PPP.
Akhirnya pada Muktamar NU XXV di Situbondo, Jawa Timur, NU mengukuhkan kembali ke khittah 1926 dan menerima Pancasila sebagai asas organisasi.
Diberitakan Harian Kompas, 4 Februari 1986, Muktabar Situbondo menetapkan NU untuk melepaskan diri dari kegiatan politik praktis.
Baca juga: Hari Santri 2020, Berikut Sejarah Penetapannya hingga Siapa yang Disebut Santri
Saat itu, PBNU menyepakati upaya tersebut dengan konsekuen kegiatan politik menjadi urusan masing-masing anggota.
Sejauh ini, lebih dari 90 tahun NU tercatat sebagai organisasi terbesar di Indonesia bersama dengan Muhammadiyah.
Para tokoh-tokohnya juga menjadi bagian penting dalam pemerintahan Indonesia sampai saat ini.
Baca juga: Hari Santri 2020, Momen Berjuang di Tengah Pandemi Covid-19
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.