Rokhis mengatakan, analisis terhadap perubahan penutup lahan di DAS Barito dilakukan menggunakan data mosaik Landsat, untuk mendeteksi penutup lahan antara tahun 2010 dan 2020.
Pengolahan data dilakukan secara digital menggunakan metode random forest sehingga mampu lebih cepat dalam menganalisis perubahan penutup lahan yang terjadi.
"Hasil yang didapatkan dalam kurun waktu 10 tahun tersebut, menunjukkan adanya penurunan luas hutan primer, hutan sekunder, sawah dan semak belukar," kata Rokhis.
Baca juga: Banjir Kalsel, Meluasnya Lahan Sawit, dan Masifnya Pertambangan...
Berikut rincian penurunan luas masing-masing area:
Untuk diketahui, menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), hutan primer didefinisikan sebagai seluruh kenampakan hutan yang belum menampakkan bekas tebangan/gangguan.
Sedangkan seluruh kenampakan hutan yang telah menampakkan bekas tebangan/gangguan disebut hutan sekunder.
Baca juga: UPDATE Banjir Kalsel: Kebutuhan Mendesak Logistik dan 3.571 Rumah Masih Terendam
Berbanding terbalik dengan adanya penurunan luas hutan di DAS Barito, Rokhis menyebut, terjadi peningkatan siginfikan pada luas area perkebunan.
Dalam kurun waktu 10 tahun, tercatat ada perluasan area perkebunan yang cukup signifikan, yakni sebesar 219.000 hektar.
Kendati demikian, Rokhis menyebut bahwa belum bisa dipastikan apakah perluasan area perkebunan yang signifikan itu terjadi karena perkebunan kelapa sawit.
"Karena datanya dari data satelit resolusi menengah, belum dapat ditentukan sawit atau perkebunan lainnya," katanya lagi.
Dia menyebut, perubahan penutup lahan dalam 10 tahun ini dapat memberikan gambaran kemungkinan terjadinya banjir di DAS Barito, sehingga dapat digunakan sebagai salah satu masukan untuk mendukung upaya mitigasi bencana banjir di kemudian hari.
Baca juga: Mengenal B20, Produk Kelapa Sawit untuk Campuran Biodiesel