KOMPAS.com - Aksi unjuk rasa besar tengah berlangsung di Bangkok, Thailand, sejak Kamis (15/10/2020).
Aksi itu melibatkan sedikitnya 10.000 orang, kebanyakan mahasiswa dan pelajar.
Para pengunjuk rasa berkumpul untuk menyuarakan sejumlah tuntutan, termasuk pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha, amandemen konstitusi, dan reformasi Kerajaan Thailand.
Dilansir dari AP News, Sabtu (17/10/2020), unjuk rasa berujung kericuhan terjadi pada Jumat (16/10/2020) malam, ketika polisi mencoba membubarkan massa dengan menggunakan meriam air dan gas air mata.
Akibat tembakan meriam air dan gas air mata, para demonstran berhasil dipukul mundur, dan polisi mulai mengambil alih lokasi unjuk rasa.
Sebagian besar peserta aksi mencari tempat berlindung di Universitas Chulalongkorn yang berada di dekat lokasi unjuk rasa.
Pernyataan resmi dari kepolisian Thailand mengatakan, beberapa pengunjuk rasa dan polisi terluka ketika pembubaran paksa dilakukan, sementara tujuh orang demonstran telah ditangkap.
Namun, seorang anggota parlemen oposisi, Pita Limjaroenrat, menyebutkan jumlah orang yang ditangkap mencapai 100 orang.
Baca juga: Kemenlu Sebut WNI di Thailand dalam Kondisi Aman
Dia menganggap dirinya tidak melakukan kesalahan apa pun.
Prayuth menyebutkan, pemerintahannya berharap dapat menghentikan keadaan darurat sebelum 30 hari.
"Jika situasinya membaik dengan cepat," kata Prayuth.
Pemerintah Prayuth telah mengeluarkan dekrit darurat untuk wilayah ibu kota pada Kamis, (15/10/2020).
Keadaan darurat melarang pertemuan publik lebih dari lima orang dan melarang penyebaran berita yang dianggap mengancam keamanan nasional.
Dekrit ini juga memberikan kekuasaan yang luas kepada pemerintah, termasuk menahan orang tanpa dakwaan. Sejumlah pemimpin protes telah ditangkap sejak keputusan itu berlaku.