Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Covid-19 di Benua Afrika Relatif Rendah, Kenapa?

Kompas.com - 29/09/2020, 17:30 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Jihad Akbar

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Data kasus infeksi Covid-19 dari berbagai negara di dunia kini bisa dipantau dengan mudah melalui beragam kanal penyedia data, seperti John Hopkins University dan Worldometer.

Jika dicermati, jumlah infeksi virus corona di negara-negara di Afrika relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara di Eropa, Amerika, dan Asia.

Berdasarkan data Worldometer, Selasa (29/9/2020) siang, total kasus Covid-19 di negara-negara di Afrika ada di angka 1,4 juta kasus.

Sementara itu, total kasus virus corona di Amerika Utara ada sebanyak 8,7 juta, Amerika Selatan sebanyak 7,9 juta, Eropa sebanyak 4,9 juta, dan Asia sebanyak 10,3 juta.

Afrika tercatat memiliki 57 wilayah atau negara. Dari jumlah itu, 38 di antaranya tercatat hanya memiliki kasus Covid-19 masing-masing di bawah 10.000 kasus.

Negara di Afrika yang jumlah kasus virus corona terbanyak adalah Afrika Selatan dengan 671.669 kasus, sementara terendah adalah Sahara Barat dengan 10 kasus.

Baca juga: WHO Dukung Uji Coba Obat Herbal dari Afrika untuk Atasi Corona

Bagaimana bisa?

Epidemiolog yang tengah menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Griffith University, Australia, Dicky Budiman, menilai ada sejumlah alasan mengapa kasus virus corona di Afrika relatif rendah.

Berikut rinciannya:

1. Respons cepat dan tepat

Hal pertama yang membuat Afrika bisa menekan jumlah infeksi Covid-19 adalah respons cepat dan tepat yang diberikan pemerintah, sistem kesehatan, dan masyarakatnya.

"Sebetulnya, yang membedakan (negara-negara Afrika dan negara lain) sejak awal mayoritas negara-negara afrika itu responsnya cepat dan tepat," kata Dicky, dihubungi Selasa (29/9/2020).

Respons cepat dan tepat ini disebabkan kondisi mereka yang baru saja dilanda wabah lain, seperti ebola.

"Sistem kewaspadaan mereka, surveillance mereka, kemudian masyarakat juga itu masih alert, dalam kondisi belajar dari wabah sebelumnya, mereka jadi lebih sigap, lebih cepat," sebut Dicky.

Dicky menyebut, hal itu sesuai dengan riset yang menyebut respons cepat dan tepat sebagai penentu keberhasilan pengendalian pandemi di suatu wilayah. Dan itu terjadi di Afrika.

"SDM (epidemiolog) mereka, infrasktuktur mereka, ini terbantu, terutama setelah banyaknya HIV, malaria, Ebola, ini membuat sistem surveillance mereka semakin tertata baik. Meskipun bukan negara maju, tapi itu sudah cukup memadai," jelas dia.

2. Sudah dibiasakan

Alasan kedua menurutnya adalah masyarakat di Afrika sudah dibiasakan untuk mengubah pola hidup yang lebih sehat dan aman.

"Masyarakatnya selama beberapa tahun terakhir ini sudah dibiasakan mengubah perilaku. Waktu ebola terjadi, masyarakat Afrika itu sudah dilatih kebiasaan cuci tangan, menjaga jarak, jangan menyentuh, jangan gampang berkerumun, jadi lebih siap," papar Dicky.

Dalam kondisi ini, ketika protokol kesehatan Covid-19 diimbau untuk diterapkan, mereka sudah melakukannya sebelum Covid-19 itu ada.

Baca juga: Kasus Covid-19 di Afrika Sudah Capai 1 Juta, tapi Diyakini Masih Bisa Lebih

3. Sistem pengawasan dan tenaga epidemiolog

Ketiga, negara-negara di Afrika sudah baik dalam kuantitas pelaksanaan upaya pengawasan penyebaran virus, mulai dari tes, pelacakan, dan sebagainya.

Selain itu, kondisi masyarakat yang beberapa kali dilanda epidemi membuat jumlah epidemiolog di wilayah itu tinggi.

"Kalau Afrika sistem surveillance: testing, tracing, itu bagus banget. Dan kalau dilihat perbandingan antara penduduk dan epidemiolognya, mereka lebih tinggi (dari Indonesia)," sebut Dicky.

Kuantitas pengawasan dan SDM itu semakin meningkat juga berkat adanya pelatihan yang banyak diberikan oleh pihak lain, seperti Amerika dan Eropa.

"Di Afrika itu, dukungan surveillance dan epidemiolognya kuat banget. Indonesia itu epidemiolog lapangannya (tracer), mungkin 200-300 orang untuk 270 juta penduduk. Dengan epidemolog lainnya seperti saya, itu enggak lebih dari 500 kok," ungkapnya.

Dicky memberi perbandingan dengan jumlah epidemiolog yang ada di kota-kota di China, setiap kota setidaknya memiliki epidemiolog sebanyak 10.000 orang.

Baca juga: Afrika Ciptakan Beberapa Temuan Inovatif untuk Atasi Covid-19

4. Wilayah luas

Faktor terakhir adalah luasnya wilayah Afrika yang membuat risiko penularan melalui kerumunan menjadi rendah.

"Yang juga membantu Afrika relatif dia akhirnya mudah dalam intervensi pembatasan pergerakan, itu memang banyak daerah-daerah di Afrika ini masih berjauhan. Lokasi itu jauh-jauh banget,' papar dia.

"Jadi dari sisi densitas, kepadatan, masyarakat relatif ketemunya jarang," lanjut Dicky.

Sementara pada negara dengan penduduk yang padat, sebagaimana disebutkan sebelumnya, sistem pengawasan atau surveillance mereka sudah terbangun dengan relatif baik.

Baca juga: WHO Izinkan Obat Herbal Afrika untuk Pengobatan Potensial Infeksi Virus Corona

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Mengenal Como 1907, Klub Milik Orang Indonesia yang Sukses Promosi ke Serie A Italia

Mengenal Como 1907, Klub Milik Orang Indonesia yang Sukses Promosi ke Serie A Italia

Tren
Melihat Lokasi Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Jalur Rawan dan Mitos Tanjakan Emen

Melihat Lokasi Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Jalur Rawan dan Mitos Tanjakan Emen

Tren
Remaja di Jerman Tinggal di Kereta Tiap Hari karena Lebih Murah, Rela Bayar Rp 160 Juta per Tahun

Remaja di Jerman Tinggal di Kereta Tiap Hari karena Lebih Murah, Rela Bayar Rp 160 Juta per Tahun

Tren
Ilmuwan Ungkap Migrasi Setengah Juta Penghuni 'Atlantis yang Hilang' di Lepas Pantai Australia

Ilmuwan Ungkap Migrasi Setengah Juta Penghuni "Atlantis yang Hilang" di Lepas Pantai Australia

Tren
4 Fakta Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Lokasi di Jalur Rawan Kecelakaan

4 Fakta Kecelakaan Bus Pariwisata di Subang, Lokasi di Jalur Rawan Kecelakaan

Tren
Dilema UKT dan Uang Pangkal Kampus, Semakin Beratkan Mahasiswa, tapi Dana Pemerintah Terbatas

Dilema UKT dan Uang Pangkal Kampus, Semakin Beratkan Mahasiswa, tapi Dana Pemerintah Terbatas

Tren
Kopi atau Teh, Pilihan Minuman Pagi Bisa Menentukan Kepribadian Seseorang

Kopi atau Teh, Pilihan Minuman Pagi Bisa Menentukan Kepribadian Seseorang

Tren
8 Latihan yang Meningkatkan Keseimbangan Tubuh, Salah Satunya Berdiri dengan Jari Kaki

8 Latihan yang Meningkatkan Keseimbangan Tubuh, Salah Satunya Berdiri dengan Jari Kaki

Tren
2 Suplemen yang Memiliki Efek Samping Menaikkan Berat Badan

2 Suplemen yang Memiliki Efek Samping Menaikkan Berat Badan

Tren
BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

BMKG: Inilah Wilayah yang Berpotensi Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 12-13 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

[POPULER TREN] Prakiraan Cuaca BMKG 11-12 Mei | Peserta BPJS Kesehatan Bisa Berobat Hanya dengan KTP

Tren
Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Kronologi Kecelakaan Bus di Subang, 9 Orang Tewas dan Puluhan Luka-luka

Tren
Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Warganet Pertanyakan Mengapa Aurora Tak Muncul di Langit Indonesia, Ini Penjelasan BRIN

Tren
Saya Bukan Otak

Saya Bukan Otak

Tren
Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Pentingnya “Me Time” untuk Kesehatan Mental dan Ciri Anda Membutuhkannya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com