Saat ledakan, Walid sedang berada di rumah bersama salah satu dari dua putranya yang berusia 17 tahun.
Nalurinya sebagai seorang yang dibesarkan selama perang saudara 1975-1990 muncul ketika terjadi ledakan dahsyat itu.
Dia menarik putranya dan membawanya ke kamar mandi untuk berlindung dari ledekan, seperti yang dilakukan ayahnya saat Walid masih muda.
"Ketakutan yang saya lihat di wajah (putra saya) itu menembus saya," jelas dia.
Walid yang kuliah di Kanada dan Paris, berencana mengirim anak kembarnya ke Prancis untuk studi mereka.
Ledakan itu mempercepat kepergian mereka.
Seperti banyak orang Lebanon, dia sangat marah pada pemerintah yang mengakui bahwa 2.750 ton amonium nitrat dibiarkan membusuk di jantung Beirut.
"Tidak disangka, kita hidup di negara yang sudah 40 tahun tidak berbadan hukum," kata Walid.
Baca juga: Profil Hassan Diab, PM Lebanon yang Mengundurkan Diri Pasca-ledakan Beirut
Sharbel Hasbany, seorang penata rias berusia 29 tahun juga bertekad untuk meninggalkan Lebanon, setelah menolak permintaan ibunya selama bertahun-tahun.
Namun, dia mungkin perlu meminta bantuan keuangan dari teman dan keluarga karena krisis ekonomi membuat tabungannya tertahan di sistem perbankan yang memblokir penarikan dolar.
Saat ledakan, Hasbany berada di distrik Gemmayzeh, salah satu daerah yang paling terpukul oleh ledakan itu.
"Kami berada di sana sepanjang waktu, tapi tak tahu bahwa kami duduk di atas bom," terang dia.
Baca juga: Amonium Nitrat Sebabkan Ledakan Lebanon, Negara Mana yang Masih Menyimpan?