Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Indonesia Diminta Lakukan 300.000 Tes PCR dalam Sehari, Ini Alasannya

Kompas.com - 29/07/2020, 20:19 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

Miki menambahkan, solusi lockdown atau PSBB yang sempat diterapkan sebelumnya, saat ini sudah tidak efektif lagi. 

"Kesempatannya sudah lewat, masa lockdown itu cuma bisa dilakukan sekali di awal untuk menekan kurva. Mestinya ya ini yang dilakukan, naikin kapasitas, bukan cuma kapasitas tes tapi lacak dan isolasinya juga," kata Miki.

Menurutnya alasan tes menjadi sangat penting adalah untuk mengetahui penyebaran orang-orang yang terinfeksi virus corona, sehingga mereka yang tidak terinfeksi masih bisa tetap bekerja. Dengan demikian, maka ekonomi tetap bisa berjalan.

Bukan hal mustahil

Miki mengakui bahwa target 300.000 tes tiap hari memang terlihat banyak, namun dia meminta untuk melihat angka tersebut dari perspektif lain.

"Penduduk Indonesia 275 juta, kalau kita nge-tes 300.000 orang sehari, sebulan baru dapat 9 juta kan? Ya itu dikit banget. Kita lihat negara lain bisa kok. Satu laboratorium yang canggih itu bisa kok, memproses 5.000, 10.000 sampel, 300.000 kan kira-kira 30 lab semacam itu, provinsi ada 34," kata Miki.

Sekali lagi, Miki mengatakan untuk membandingkan posisi Indonesia dalam hal testing dengan negara-negara lain yang termasuk dalam jajaran 30 besar kasus Covid-19 tertinggi di dunia. Meski Indonesia memiliki populasi yang cukup padat, namun jumlah tes yang dilakukan justru yang paling rendah.

Mengenai cara yang bisa dilakukan untuk mencapai target tes PCR 300.000 per hari, Miki menyebut ada beberapa pendekatan yang bisa dilakukan oleh pemerintah.

"Kalau mau disebut hal-hal kecil yang bisa dilakukan untuk meningkatkan kapasitas itu, ya antara lain upgrade lab yang BSL 1 (Bio Safety Level)  ke BSL 2, tentunya pastikan juga pasokan reagent dan bahan-bahan untuk itu terjamin," kata Miki.

Baca juga: WHO Soroti Jumlah Tes, Positivity Rate, dan Kapasitas Rawat Inap RS di Indonesia

Opsi tes

Kemudian, bisa juga dengan menggali opsi-opsi lain yang sudah dilakukan oleh negara lain. Miki mencontohkan, di India ada tes cepat dengan menggunakan saliva atau liur.

Meski tingkat keakuratannya tidak sebaik PCR, namun bila tes itu bisa dilakukan dalam skala masif dan berulang, hasilnya akan mendekati tes PCR dengan biaya yang lebih murah. Ia menuturkan, bahwa biaya untuk tes saliva itu berkisar antara 2-5 dollar saja.

"Katakanlah misal sensitivitasnya cuma 50 persen, jadi kita tes 1000 orang, kemudian di antara 1000 orang itu ada 100 yang positif, kita dapat 50, not bad. 950 orang yang di-clear, nanti tes aja lagi minggu depannya, dapet lagi sekian orang. Itu lumayan, efeknya malah lebih baik daripada memakai tes yang 100 persen akurat, tapi cuma bisa ke sedikit orang," kata Miki.

Untuk menghemat reagent, bisa juga melakukan metode pool testing seperti yang dilakukan di Sumatera Barat. Meski ada beberapa pro-kontra terkait metode ini, namun Miki menilai metode ini bisa diterapkan di daerah yang terindikasi positif penularan Covid-19.

"Jadi ada macam-macam cara dan itu dilakukan di negara lain. Contohnya ada, artikel penelitian dan surveinya juga ada," kata Miki.

Menurutnya, meningkatkan atau mencapai kapasitas tes hingga mencapai 300.000 tes per hari bukanlah hal yang mustahil. Semua itu berpulang pada komitmen dan kesungguhan pemerintah dalam menangani pandemi.

Baca juga: Melebihi Batas WHO, Positivity Rate Covid-19 di Indonesia 12,3 Persen, Apa Dampaknya?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Badai Matahari Mei 2024 Jadi yang Terkuat dalam 20 Tahun Terakhir, Apa Saja Dampaknya?

Badai Matahari Mei 2024 Jadi yang Terkuat dalam 20 Tahun Terakhir, Apa Saja Dampaknya?

Tren
5 Temuan Polisi soal Kondisi Bus yang Kecelakaan di Subang, Bekas AKDP hingga Rangka Berubah

5 Temuan Polisi soal Kondisi Bus yang Kecelakaan di Subang, Bekas AKDP hingga Rangka Berubah

Tren
Nilai Tes Online Rekrutmen BUMN Tiba-tiba Turun di Bawah Standar, Ini Kronologinya

Nilai Tes Online Rekrutmen BUMN Tiba-tiba Turun di Bawah Standar, Ini Kronologinya

Tren
Pakai Cobek dan Ulekan Batu Disebut Picu Batu Ginjal, Ini Faktanya

Pakai Cobek dan Ulekan Batu Disebut Picu Batu Ginjal, Ini Faktanya

Tren
7 Pilihan Ikan Tinggi Zat Besi, Hindari Kurang Darah pada Remaja Putri

7 Pilihan Ikan Tinggi Zat Besi, Hindari Kurang Darah pada Remaja Putri

Tren
Pendaftaran CPNS 2024: Link SSCASN, Jadwal, dan Formasinya

Pendaftaran CPNS 2024: Link SSCASN, Jadwal, dan Formasinya

Tren
6 Tanda Tubuh Terlalu Banyak Konsumsi Garam

6 Tanda Tubuh Terlalu Banyak Konsumsi Garam

Tren
BMKG Sebut Badai Matahari Ganggu Jaringan Starlink Milik Elon Musk

BMKG Sebut Badai Matahari Ganggu Jaringan Starlink Milik Elon Musk

Tren
Suhu di Semarang Disebut Lebih Panas dari Biasanya, Ini Penyebabnya Menurut BMKG

Suhu di Semarang Disebut Lebih Panas dari Biasanya, Ini Penyebabnya Menurut BMKG

Tren
Selalu Merasa Lapar Sepanjang Hari? Ketahui 12 Penyebabnya

Selalu Merasa Lapar Sepanjang Hari? Ketahui 12 Penyebabnya

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 13-14 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 13-14 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] UKT dan Uang Pangkal yang Semakin Beratkan Mahasiswa | Kronologi Kecelakaan Bus Subang

[POPULER TREN] UKT dan Uang Pangkal yang Semakin Beratkan Mahasiswa | Kronologi Kecelakaan Bus Subang

Tren
7 Gejala Stroke Ringan yang Sering Diabaikan dan Cara Mencegahnya

7 Gejala Stroke Ringan yang Sering Diabaikan dan Cara Mencegahnya

Tren
Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana, Izin Kendaraan Mati, Pengusaha Harus Dipolisikan

Kecelakaan Bus SMK Lingga Kencana, Izin Kendaraan Mati, Pengusaha Harus Dipolisikan

Tren
8 Tanda Batu Ginjal dan Cara Mencegahnya

8 Tanda Batu Ginjal dan Cara Mencegahnya

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com