Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Komunikasi soal Covid-19 Dinilai Bermasalah, Masyarakat Gagal Paham

Kompas.com - 26/06/2020, 19:27 WIB
Jawahir Gustav Rizal,
Rizal Setyo Nugroho

Tim Redaksi

Lalu, penumpang yang membludak dan berdesak-desakan di Bandara Soekarno Hatta ketika masa mudik Lebaran beberapa waktu yang lalu.

Kemudian, kerumunan masyarakat yang tengah berbelanja di pasar dan supermarket tanpa adanya penerapan jarak fisik menjelang Idul Fitri bulan Mei lalu.

Fajar juga menilai bahwa pemerintah terlalu terburu-buru mengampanyekan kenormalan baru.

"Di era masyarakat informasi, publik bisa mengetahui dari berbagai media bahwa kurva (kasus Covid-19) di Indonesia belum bisa ditekan, tidak seperti di negara-negara lain. Ada anomali yang terjadi dalam komunikasi publik ini," papar Fajar. 

Baca juga: Pria dan Remaja Cenderung Kurang Patuhi Protokol Kesehatan, Ini Penjelasan Psikolog...

Perlu pemahaman

Permasalahan lain terkait upaya pengendalian virus corona penyebab Covid-19 menurutnya perlu banyak melibatkan masyarakat untuk turut memahami risiko dari penyakit ini serta mematuhi anjuran protokol kesehatan yang telah dibuat.

Dikonfirmasi terpisah, menurut Dosen Fakultas Psikologi Universitas Indonesia Rose Mini Agoes Salim, manusia akan melakukan sesuatu secara sukarela bila ia mendapat pemahaman yang jelas dan melekat pada dirinya.

Dia menggambarkanya dengan sebuah pengandaian sederhana, yaitu apabila ada satu keluarga yang tiba-tiba terkena Covid-19, akhirnya keluarga ini harus menjalani isolasi.

Pada saat itulah mereka baru memahami bahwa bahayanya ternyata sangat besar, sehingga akhirnya keluarga itu secara sukarela dan dengan disiplin menjalankan protokol pencegahan Covid-19.

"Itu artinya, dia mau melakukan hal yang luar biasa itu kalau dia paham dan merasa perlu melakukan itu. Karena dia pernah mengalami hal tersebut," kata Romy, begitu ia biasa disapa, saat dihubungi Kompas.com (26/6/2020).

Dari pengandaian itu, dapat dipahami bahwa saat ini ada sebagian masyarakat Indonesia yang masih mengabaikan protokol kesehatan karena mereka masih belum merasakan bahaya dari Covid-19 atau bahkan belum mengetahui tentang virus corona.

Belum dinilai bahaya

Meskipun setiap hari Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mengumumkan penambahan kasus positif infeksi virus corona, namun bagi sebagian masyarakat hal tersebut hanya dilihat sebagai angka belaka.

Hal ini disebabkan angka-angka tersebut tidak nyata hadir di dekat mereka. Bahaya dari Covid-19 tidak begitu disadari, kecuali bagi mereka yang tinggal di zona merah penyebaran Covid-19 atau yang bersinggungan dengan kasus tersebut.

Tentunya ini menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah dalam melakukan sosialisasi kepada masyarakat.

Baca juga: Saat Petugas Medis Dipukul Warga karena Dianggap Bikin Resah Saat Sosialisasi Covid-19

 

Dengan sosialisasi yang tepat maka pemahaman masyarakat akan meningkat beserta kedisiplinan dalam menjalankan protokol kesehatan.

Romy memberi contoh sosialiasi yang tepat ini melalui pengalamannya mengajar anak-anak usia empat-lima tahun di sekolah yang ia kelola.

Karena virus corona tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, maka Romy menggunakan media cat warna sebagai penggantinya.

"Kalau kamu pegang-pegang barang, nanti catnya akan kemana-mana. Nah, itu corona juga seperti itu, tidak kelihatan tapi ada," demikian Romy menjelaskan kepada anak didiknya.

Dengan penjelasan sederhana seperti yang dilakukan oleh Romy, maka sosialisasi yang dilakukan pemerintah kepada masyarakat bisa lebih mudah dipahami. 

Selain itu, masyarakat tidak dipusingkan dengan berbagai istilah kesehatan yang bisa jadi terasa membingungkan bagi masyarakat awam.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Gletser Terakhir di Papua Diperkirakan Akan Hilang Sebelum 2026

Gletser Terakhir di Papua Diperkirakan Akan Hilang Sebelum 2026

Tren
Link, Cara, dan Syarat Daftar IPDN 2024, Lulus Bisa Jadi PNS Kemendagri

Link, Cara, dan Syarat Daftar IPDN 2024, Lulus Bisa Jadi PNS Kemendagri

Tren
Sudah Bayar Tunggakan Iuran, Apakah BPJS Kesehatan Bisa Langsung Digunakan?

Sudah Bayar Tunggakan Iuran, Apakah BPJS Kesehatan Bisa Langsung Digunakan?

Tren
6 Dokumen yang Harus Dipersiapkan untuk Mendaftar Sekolah Kedinasan, Apa Saja?

6 Dokumen yang Harus Dipersiapkan untuk Mendaftar Sekolah Kedinasan, Apa Saja?

Tren
Tips Latihan Beban untuk Pemula agar Terhindar dari Cedera

Tips Latihan Beban untuk Pemula agar Terhindar dari Cedera

Tren
6 Olahraga yang Ampuh Menurunkan Kolesterol Tinggi, Apa Saja?

6 Olahraga yang Ampuh Menurunkan Kolesterol Tinggi, Apa Saja?

Tren
PKS Disebut 'Dipaksa' Berada di Luar Pemerintahan, Ini Alasannya

PKS Disebut "Dipaksa" Berada di Luar Pemerintahan, Ini Alasannya

Tren
Ini yang Akan Terjadi pada Tubuh Saat Minum Teh Hitam Selama Sebulan

Ini yang Akan Terjadi pada Tubuh Saat Minum Teh Hitam Selama Sebulan

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 16-17 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 16-17 Mei 2024

Tren
[POPULER TREN] Beda Penampilan Sandra Dewi Saat Diperiksa | Peringatan Dini Kekeringan di Jateng

[POPULER TREN] Beda Penampilan Sandra Dewi Saat Diperiksa | Peringatan Dini Kekeringan di Jateng

Tren
Viral, Video Pelajar di Yogyakarta Dikepung Usai Tertinggal Rombongan

Viral, Video Pelajar di Yogyakarta Dikepung Usai Tertinggal Rombongan

Tren
Daftar Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit yang Tidak Menerapkan KRIS

Daftar Pelayanan Rawat Inap Rumah Sakit yang Tidak Menerapkan KRIS

Tren
Pohon Purba Beri Bukti Musim Panas 2023 adalah yang Terpanas dalam 2.000 Tahun

Pohon Purba Beri Bukti Musim Panas 2023 adalah yang Terpanas dalam 2.000 Tahun

Tren
7 Makanan Tinggi Kalori yang Menyehatkan, Cocok untuk Menaikkan Berat Badan

7 Makanan Tinggi Kalori yang Menyehatkan, Cocok untuk Menaikkan Berat Badan

Tren
Sosok Kemal Redindo, Anak SYL yang Minta Uang ke Pejabat Kementan untuk Aksesori Mobil

Sosok Kemal Redindo, Anak SYL yang Minta Uang ke Pejabat Kementan untuk Aksesori Mobil

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com