PADA masa puncak pagebluk Corona industri berat mati suri sementara mobil dan pesawat terbang berhenti lalu lalang drastis mengurangi emisi polusi udara, saya terkejut ketika melihat langit cerah.
Maka di dalam sanubari saya nyeletuk, “Tumben langitnya biru!”
Pada saat itu pula saya tersadar ternyata saya secara spontan mengucap kata “tumben” pada saat daya-penginderaan saya menangkap sesuatu yang tidak lazim
Pagebluk Corona memberi saya banyak waktu untuk mempelajari berbagai bidang kehidupan manusia termasuk bahasa di mana di dalamnya ada apa yang disebut sebagai sinonim.
Sinonim adalah kata yang memiliki bentuk yang berbeda akan tetapi memiliki arti atau pengertian yang sama dengan kata yang lain.
Sinonim bisa juga disebut sebagai persamaan kata atau padanan kata.
Misalnya sinonim kata buruk adalah jelek meski sebenarnya makna kata buruk beda dari jelek dalam hal buruk lebih cenderung sifat sesuatu yang abstrak seperti sikap dan perilaku sementara jelek lebih cenderung ke visual seperti lukisan itu jelek.
Di dunia musik, buruk bisa diganti dengan sumbang sementara di ranah aroma, buruk bisa diganti dengan busuk.
Namun ada pula kata yang tidak memiliki sinonim dalam bentuk satu kata saja, misalnya tumben.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata tumben bermakna 1) mula-mula sekali: tumben dia baru minum jamu; 2) ganjil benar kali ini (tidak sebagai biasa atau menyalahi dugaan): tumben malam-malam begini keluar, ada apa sih!
Tanpa sedikit pun mengurangi rasa hormat kepada KBBI sebagai rujukan utama saya dalam berbahasa Indonesia, terus terang saya dengan daya tafsir bahasa dangkal yang saya miliki merasa lebih mantap terhadap pemaknaan nomor 2 ketimbang nomor 1 tentang tumben.
Apabila kita cermati pemaknaan KBBI terhadap kata tumben maka dapat disimpulkan bahwa kata tumben tidak memiliki sinonim dalam bentuk hanya satu kata saja.
Menarik adalah fakta bahwa kata tumben memiliki padanan kata dalam bahasa Jawa dalam bentuk hanya satu kata saja yaitu kadingaren mau pun bahasa Sunda yaitu sinarieun.
Sementara masyarakat Bali juga tidak merasa perlu kata tumben diganti kata lain. Semisal kata tumben dalam kalimat bahasa Bali: Tiang nembe tumben ke Bali. Atau, dalam peribahasa Bali: Buta tumben kedat, suksmanipun.
Tampaknya kata tumben yang berakar pada lahan kebudayaan Nusantara memang dianggap perlu sinonim satu kata saja oleh masyarakat berhasil Jawa, Sunda dan Bali yang termasuk di dalam peta geokultural Nusantara.