Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Kapitalisme Digital, Oligarki Hukum

Kompas.com - 24/12/2019, 07:05 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

MENJELANG tahun baru 2020 bagi saya agak mencekam. Agus Sudibyo seakan mengafirmasi suasana mencekam tadi. Dalam bukunya Jagad Digital, (KPG,2019), ia menguliti fenomena kapitalisme digital.

Konsekuensi revolusi industri 4.0. Betapa tidak, ada pihak yang lebih kuat dan canggih dari negara dalam operasi pengawasan masyarakat.

Melalui wakaf keikhlasan informasi, masyarakat dengan bahagia menyerahkan seluruh kepribadian datanya pada google dan facebook misalnya.

Lalu, oleh mereka, informasi diolah menjadi tren pola perilaku yang akan dikunyah oleh para kapitalis melalui iklan dan godaan produk. Akibatnya, masyarakat tersandera oleh pelbagai produk.Tidak hanya itu.

Ancaman pada ekologi ada di depan mata. Dalam kasus di Quincy Washington, Microsoft mendirikan server raksaksa digerakan generator diesel setinggi 10 kaki beroperasi lebih 3000 jam pada tahun 2010 yang melahirkan polusi udara.

Ini semua implikasi lain dari internet of think, cloud of think dan big data.

Era kapitalisme digital

Lagi-lagi Agus Sudibyo mengingatkan, bahaya kapitalisme digital.

Pertama, di era media digital, sebuah iklan tidak perlu menargetkan dibaca sebanyak mungkin orang. Cukup dibaca kelompok tertentu yang potensial membeli produk yang diiklankan.

Mereka tidak perlu buka toko. Transaksi diselesaikan melalui daring.

Ini akibat surplus informasi yang disediakan kita saat mengisi media sosial (yang sebenarnya tidak sosial karena sudah bisnis) sehingga perusahaan bisnis bisa membaca perilaku masyarakat yang mempunyai nilai ekonomis di dalam ruang-ruang privatnya.

Kedua, iklan digital masuk tanpa bisa ditangkal. Ketika smart phone dinyalakan dan mengakses surel misalnya. Langsung, iklan menerjang. Privasi menjadi tiada.

Ketiga, kapitalisme digital tidak hanya bekerja di logika akumulasi modal yang koheren dan sinergis, namun juga hegemoni kesadaran yang laten.

Sebab, perusahaan mengawasi, merekam dan mengarahkan perilaku pengguna internet diam-diam sehingga memiliki dampak tak terbayangkan. Ada akumulasi surplus ekonomi yang oligopolistik.

Cerita di atas semakin memburuk bila dikontekskan Indonesia.

Pertama, akses teknologi informasi kita masih timpang. Antara Jawa dan Luar Jawa. Ada hikmah tersembunyi setidaknya di daerah yang teknologi informasi belum memadai, ancaman kapitalisme digital dapat merambat lebih perlahan. Namun seiring waktu akan niscaya melanda pula.

Kedua, literasi lumpuh. Pelbagai data literasi kita masih dibawah rata-rata. Akibatnya, sikap kritis terhadap teknologi masih agenda raksaksa besar yang harus dituntaskan.

Ketiga, mutu pendidikan kita masih cenderung gelap. Masih berkutat di guru honorer. Polemik ujian nasional. Maupun soal bongkar pasang kurikulum. Apabila tidak ada percepatan, bukan mustahil neraka digital melanda.

Obesitas dan oligarki

Kabar mendung lainnya soal oligarki politik. Ketika kabinet Pemerintahan Presiden Jokowi Ma’ruf mengalami obesitas. Maka, hal-hal mencemaskan di atas sukar diantisipasi.

Satu sisi ada semangat efisiensi birokrasi. Bahkan kalau perlu Aparatur Sipil Negara (ASN) golongan tertentu akan diganti robot. Namun di sisi lain, kabinet obesitas melanda.

Selain menteri, ada wakil menteri. Ada staf khusus. Serta pelbagai jabatan politik lainnya. Timbul kesan upaya menciptakan stabilitas politik harus ditebus dengan paradoks kompleksitas akibat obesitas kabinet.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com