Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mimpi Buruk Pemanasan Global (4): Panas Sekarang Belum Ada Apa-apanya

Kompas.com - 08/12/2019, 19:30 WIB
Nibras Nada Nailufar

Penulis

Tulisan ini adalah lanjutan dari tulisan ketiga, Mimpi Buruk Pemanasan Global (3): Bukan Cuma Jawa, Seluruh Dunia akan Krisis Air.

KOMPAS.com - Suhu panas yang melanda Indonesia pada Oktober tahun ini, belum ada apa-apanya jika dibanding dengan panas di masa mendatang.

Panas saat ini memang disebabkan gerak semu matahari yang ada di luar kendali kita. Namun, ada penyebab lain suhu panas bakal sering terjadi. Kita membuat bumi lebih panas.

Selama lima tahun terakhir, hampir seluruh negara beramai-ramai memecahkan rekor suhu terpanasnya. Dari Perancis, India, hingga Amerika Serikat, semua merasakan cuaca panas ekstrem.

Sebelum panas yang dirasakan Indonesia hari ini, pada Oktober 2015 suhu pernah mencapai 39,5 derajat celsius di Jatiwangi, Cirebon, dan Semarang.

Baca juga: Suhu Panas di Berbagai Wilayah Indonesia, Ini 3 Faktor Penyebabnya

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaporkan sepanjang 2015-2019, bumi memanas 0,2 derajat celsius dibanding 2011-2015.

Penyebabnya? Kita telah memproduksi karbon dioksida, metana, nitrogen oksida, dan gas rumah kaca lainnya secara berlebihan.

Gas-gas yang terperangkap di bumi ini menambah suhu hingga 1,1 derajat celsius dibanding masa praindustri (1850).

Akibat perubahan iklim yang paling parah? Gelombang panas lebih sering terjadi. Gelombang panas adalah periode di mana cuaca panas dengan kelembaban tinggi lebih dari normal.

Baca juga: Spanyol Dilanda Gelombang Panas: Neraka Sudah Datang

Gelombang panas menjadi bencana akibat perubahan iklim yang paling mematikan. Sepanjang 2015-2019, 8.900 orang meninggal karena gelombang panas di seluruh dunia.

Dikutip dari The Uninhabitable Earth: Life After Warming (2019), sejak 1980-an bumi telah 50 kali lipat lebih sering mengalami gelombang panas. Makin tahun makin parah.

Peningkatan suhu sebanyak empat derajat celsius, seperti yang melanda Eropa pada 2003, bakal jadi cuaca yang normal setiap musim panas di tahun mendatang.

Tahun lalu, PBB memprediksi dengan laju emisi saat ini, bumi akan bertambah panas 1,5 derajat celsius pada 2040, atau 20 tahun dari sekarang.

Baca juga: Dampak Gelombang Panas Landa Perancis, Hampir 1.500 Orang Meninggal

Dengan cepatnya peningkatan suhu, apa yang akan terjadi pada manusia? Kenaikan suhu lima derajat celsius, bisa membuat bumi tak bisa dihuni manusia.

Ibadah haji yang tiap tahun diikuti dua juta umat muslim akan mustahil untuk dilakukan di masa depan.

Penggunaan AC dan pendingin pun hanya akan jadi lingkaran setan kerusakan iklim. Sebab, sekitar 10 persen konsumsi listrik, habis di AC.

Peningkatan suhu selama beberapa dekade terakhir mendorong penjualan AC di seluruh dunia. Sepuluh tahun lagi, atau pada 2030, akan ada 700 juta tambahan unit AC.

Permintaan akan AC diperkirakan akan naik tiga hinga empat kali lipat pada 2050.

Baca juga: 5 Cara Hadapi Gelombang Panas dan Penjelasan Ilmiahnya

Di antara berbagai cara untuk mati, mati karena hipertermia atau suhu tinggi adalah salah satu yang paling menyakitkan. Pertama, panas membuat dehidrasi, berkeringat, mual, dan pusing.

Di titik tertentu, air tak lagi bisa menyelamatkan tubuh. Tubuh akan mendorong darah keluar dari kulit, sebagai upaya mendinginkan.

Kulit akan memerah dan organ dalam berhenti bekerja. Saat itu, tubuh tak lagi berkeringat. Otak berhenti bekerja. Penutupnya, serangan jantung hebat.

"Dalam suhu panas ekstrem," kata jurnalis AS Langewiesche, "Anda tak bisa lari dari keadaan seperti Anda tak bisa melepaskan kulit."

Baca juga: Prediksi Ilmuwan: 2070, China Dilanda Gelombang Panas Mematikan

Kebakaran hutan

Dampak lain dari peningkatan suhu yang tak kalah mematikan, kebakaran hutan. Di Indonesia, kebakaran hutan umumnya memang terjadi karena pembakaran liar untuk mengosongkan lahan.

Kondisi alamiah yang memicu kebakaran juga secara tak langsung disebabkan manusia.

Ketika badai El Nino menghampiri, lahan akan menjadi kering. Dengan kondisi kering, pepohonan jadi lebih rentan terbakar dan menyebar.

Penelitian terbaru dari University of Hawaii's International Pacific Research Center (IPRC) mengungkap, El Nino yang terjadi sejak tahun 1970-an diperparah perubahan iklim.

Baca juga: Pemerintah Terus Evaluasi Penanganan Kebakaran Hutan dan Lahan

El Nino bergeser dari timur Samudera Pasifik ke barat Samudera Pasifik yang makin hangat. Dari 33 El Nino yang terjadi antara 1901 sampai 2017, terungkap bahwa El Nino makin sering terjadi dan makin ekstrem.

Bencana kebakaran hutan tidak mengenal diskriminasi. Mulai dari Gunung Ijen, habitat koala di Australia, hingga tempat tinggal para artis Hollywood di California, semua dilahap api pada kemarau ini.

Lalu, bagaimana dampak langsungnya bagi manusia? Salah satu kebakaran hutan terparah sepanjang sejarah, terjadi di Indonesia pada tahun 1997.

Kebakaran itu menimbulkan dampak yang tak bisa dikembalikan. Seperempat emisi karbon yang dilepaskan bumi di tahun 1997-1998, berasal dari kebakaran di Kalimantan dan Sumatra.

Baca juga: Kebakaran Hutan Bercampur Angin, California Umumkan Keadaan Darurat

Lebih dari 20 juta orang di Asia Tenggara terdampak kebakaran itu. Penelitian dari Duke University, Amerika Serikat pada 2019 mengungkap akibat kebakaran pada 1997 itu, anak-anak di dalam rahim yang terpapar kabut asap, lahir lebih pendek atau mengalami stunting.

Udara beracun dapat menyaring pasokan oksigen janin. Hal ini menyebabkan perubahan permanen yang berpotensi menyebabkan berat badan lahir rendah.

Tak hanya itu, paparan kabut asap juga menyebabkan potensi tinggi badan yang lebih pendek di usia dewasa.

Kebakaran hutan adalah lingkaran setan yang tak terhindarkan. Pemanasan global mendorong kebakaran hutan, dan kebakaran hutan mempercepat pemanasan global.

Baca juga: Kebakaran Hutan Indonesia 1997 Sebabkan Anak Tumbuh Lebih Pendek 3 Cm

Bersambung...

Tulisan ini adalah seri keempat dari enam seri tulisan Mimpi Buruk Pemanasan Global. Baca artikel berikutnya, "Keruntuhan Ekonomi, Perang, dan Mafia".

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

Izin Paytren Aset Manajemen Dicabut OJK, Ini Alasannya

Izin Paytren Aset Manajemen Dicabut OJK, Ini Alasannya

Tren
Kelas BPJS Kesehatan Dihapus, Kemenkes Sebut KRIS Sudah Bisa Diterapkan

Kelas BPJS Kesehatan Dihapus, Kemenkes Sebut KRIS Sudah Bisa Diterapkan

Tren
Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Paus Fransiskus Umumkan 2025 sebagai Tahun Yubileum, Apa Itu?

Tren
Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Bisakah Cairkan JHT BPJS Ketenagakerjaan Tanpa Paklaring Usai Resign?

Tren
Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Apa Itu Gerakan Blockout 2024 yang Muncul Selepas Met Gala dan Merugikan Taylor Swift juga Zendaya?

Tren
Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Balon Udara Meledak di Ponorogo, Korban Luka Bakar 63 Persen, Polisi: Masuk Ranah Pidana

Tren
Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Warga Korsel Dilaporkan Hilang di Thailand dan Ditemukan di Dalam Tong Sampah yang Dicor Semen

Tren
Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Harta Prajogo Pangestu Tembus Rp 1.000 Triliun, Jadi Orang Terkaya Ke-25 di Dunia

Tren
Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Media Asing Soroti Banjir Bandang Sumbar, Jumlah Korban dan Pemicunya

Tren
Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Sejarah Lari Maraton, Jarak Awalnya Bukan 42 Kilometer

Tren
Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Rekonfigurasi Hukum Kekayaan Intelektual terhadap Karya Kecerdasan Buatan

Tren
Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Basuh Ketiak Tanpa Sabun Diklaim Efektif Cegah Bau Badan, Benarkah?

Tren
BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

BPJS Kesehatan Tegaskan Kelas Pelayanan Rawat Inap Tidak Dihapus

Tren
Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Cara Memindahkan Foto dan Video dari iPhone ke MacBook atau Laptop Windows

Tren
Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Video Viral Pusaran Arus Laut di Perairan Alor NTT, Apakah Berbahaya?

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com