KOMPAS.com - Wacana jabatan presiden selama tiga periode ramai dibicarakan publik akhir-akhir ini.
Selain menuai pro dan kontra, wacana tersebut berkaitan dengan rencana amandemen terbatas UUD 1945.
Diberitakan Kompas.com (22/11/2019), Ketua MPR RI Bambang Soesatyo mengatakan wacana penambahan masa jabatan presiden hanya bergulir informal.
Ia belum menerima usulan penambahan masa jabatan presiden. Kendati demikian, setiap aspirasi terkait wacana amandemen harus ditampung MPR.
Terkait wacana tersebut, Sekretaris Kabinet Pramono Anung menegaskan bahwa wacana memperpanjang masa jabatan Presiden menjadi 3 periode tidak datang dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Bahkan, menurut dia Jokowi tak pernah terpikir untuk mencari cara memperpanjang masa jabatannya.
Baca juga: Staf Khusus Milenial Jokowi, antara Kebutuhan atau Ornamen Politik?
Wacana memperpanjang masa jabatan tersebut, imbuhnya justru kontra produktif bagi Jokowi.
Sebab, Jokowi adalah Presiden yang dilahirkan sistem reformasi, di mana aturan yang sudah ada membatasi masa jabatan Presiden hanya dua periode.
Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Eksekutif Center for Social Political, Economic and Law Studies (CESPELS), Ubedillah.
Menurutnya penambahan masa jabatan presiden tersebut hanya akan mencederai nilai-nilai reformasi.
"Spirit reformasi di antaranya adalah upaya untuk menata negara agar tidak memberi peluang lebar dari terjadinya praktik koruptif, di antaranya dengan membatasi periode kekuasaan presiden hanya dua periode," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (28/11/2019)
Sebagai negara demokrasi, kata Ubedillah, Indonesia juga memiliki prinsip untuk membatasi kekuasaan dengan cara membatasi periode agar jalannya negara tidak mengarah pada perilaku yang otoriter, anti demokrasi atau bahkan diktator.
Kekuasaan yang lama juga memiliki kecenderungan mengarah pada diktatorisme dan korupsi.
"Semestinya elit politik tidak membesarkan wacana tiga periode jika mereka masih memiliki spirit reformasi," ungkapnya.
Baca juga: Segitiga Jokowi, Paloh dan Sohibul Iman, dari Sinyal Kedekatan hingga Kecurigaan
Ia juga menilai penambahan masa jabatan presiden akan memunculkan suasana psikologi politik yang elit politiknya lebih cenderung pragmatis dan akan melahirkan kekuasaan yang cenderung korup dan otoriter.
"Kekuasaan presiden tiga periode juga hampir tidak ada manfaat besar bagi negara," tambahnya.
Menurutnya, gagasan yang justru mesti dipertimbangkan adalah masa jabatan presiden cukup satu periode dengan waktu memimpin tujuh tahun.
"Ini penting dilakukan untuk menghindari praktik curang sistemik petahana dalam pemilu. Jadi, jika satu periode masa jabatan presiden maka tidak akan ada petahana dalam kontestasi pilpres," imbuhnya.
Berdasarkan ketentuan yang berlaku saat ini, presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan.
Dengan demikian, presiden dan wakil presiden dapat menjabat paling lama 10 tahun dalam dua periode sebagaimana diatur dalam pasal 7 UUD 1945.
Baca juga: Menilik Latar Belakang Pendidikan 7 Staf Khusus Milenial Jokowi...
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.