KOMPAS.com - Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) berencana melibatkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk menjadi "influencer" pemerintah.
Adapun peran ini disinyalir bertujuan untuk menguatkan distribusi informasi terkait program dan prestasi yang telah tercapai.
Diketahui, ada syarat yang harus dipenuhi ASN untuk dapat menjadi "influencer", yakni memiliki jumlah pengikut/followers sebanyak minimal 500 pada akun media sosial Instagram, Facebook, maupun Twitter.
Diretur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Kominfo, Prof DR Widodo Muktiyo mengungkapkan bahwa saat ini fungsi Kominfo sebagai government public relation (GPR) masih belum optimal.
Di sisi lain, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo, Ferdinandus Setu, menjelaskan bahwa peran ASN yang menjadi "influencer" ini juga dapat menangkal kabar hoaks yang beredar di media sosial.
Dengan demikian, pihaknya memberi wewenang khusus untuk menyebarkan informasi mengenai program pemerintah kepada masyarakat.
Lantas, apakah dengan memberlakukan kebijakan ini justru menjadi lebih optimal?
Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI) Eko Prasodjo mengungkapkan bahwa langkah pemerintah menjadikan ASN menjadi "influencer" dirasa lebih efektif dan efisien.
"Menurut saya bagus bahwa media sosial bisa dimanfaatkan untuk mensosialisasikan program pemerintah," ujar Eko saat dihubungi Kompas.com, Kamis (28/11/2019).
Hal tersebut didukungnya, karena melihat kondisi di Indonesia ada sebanyak 62 persen generasi Y dan Z dari total generasi saat ini.
Adapun generasi Y dan Z dikenal sebagai generasi yang familiar dengan informasi dan teknologi.
Menilik syarat yang harus dipenuhi jika menjadi ASN "influencer" ini, Eko menyarankan agar pemerintah memberi perhatian terkait proses pemilihan ASN "influencer".
Misalnya dengan adanya pengawasan dari pemerintah.
Baca juga: Soal ASN Influencer, Kominfo: Jangan Model Beli Follower
Selain itu, Eko menyampaikan bahwa dengan adanya ASN "influencer" ini dinilai dapat memberikan keefektifan dan keefisien terhadap program sosialisasi tradisional.
"Jika ini berhasil, program sosialisasi tradisional selama ini bisa digantikan dengan media sosial," ujar Eko.