Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kualitas Udara Buruk, 36.000 Kematian Dini Bisa Terjadi Jika Karhutla Terus Berlanjut

Kompas.com - 14/09/2019, 17:07 WIB
Luthfia Ayu Azanella,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi


KOMPAS.comKebakaran hutan dan lahan nampaknya menjadi permasalahan tahunan yang terjadi di Indonesia dan belum bisa teratasi hingga hari ini.

Saat ini saja, ribuan titik api masih tersebar khususnya di sejumlah provinsi di Suamtera dan Kalimantan. Titik api ini menyebabkan asap tebal yang mengganggu penglihatan juga kesehatan masyarakat di sekitar wilayah kebakaran.

Bahkan tak hanya di wilayah sekitar terjadi kebakaran, asap ini terbawa angin dan mengganggu aktivitas juga kesehatan masyarakat di negara tetangga, Singapura dan Malaysia.

Selama ini di Indonesia bencana kabut asap kerap terjadi saat memasuki puncak musim kemarau. Kebakaran terjadi akibat suhu panas yang terjadi, ditambah dengan aktivitas pembukaan lahan yang dilakukan oleh warga.

Masyarakat terdampak yang didominasi oleh anak-anak banyak mengalami masalah pernapasan seperti ISPA, sesak, batuk flek, demam, dan sebagainya.

Baca juga: 12 Orang Jadi Korban Asap Karhutla Riau, Mayoritas Anak-anak dan Ibu Menyusui

Namun, sebuah penelitian berjudul Fires, Smoke Exposure, and Public Health: An Integrative Framework to Maximize Health Benefits From Peatland Restoration (2019) dari Harvard University menyebut kebakaran hutan jika terus terjadi hingga beberapa dekade ke depan, akan menyebabkan kematian dini yang tinggi.

Disebutkan, angka kematian dini itu mencapai angka 36.000 jiwa per tahunnya di seluruh wilayah terdampak, yakni 92 persen dari jumlah itu akan terjadi di Indonesia, 7 persen di Malaysia, dan 2 persen di Singapura.

Risiko ini, tentu masih bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan sama sekali dengan cara dan strategi yang dilakukan dengan maksimal.

“Tingkat kematian dini ini bisa dicegah sebanyak 66 persen dengan strategi pengelolaan lahan yang komprehensif, seperti restorasi lahan gambut secara maksimal” kata Tianjia Liu, salah satu peneliti dalam penelitian ini sebagaimana dikutip dari The Conversation.

Selain kematian dini, paparan kabut asap yang terjadi juga bisa menyebabkan berbagai gangguan kesehatan yang lebih serius daripada yang ditemukan hari ini. Misalnya stroke, penyakit kardiovaskular, bahkan kerusakan otak.

Dalam penelitian sebelumnya dari Singapura dan Amerika Serikat, disebutkan pula bahwa kabut asap dapat menyebabkan stunting pada anak-anak yang terpapar kabut asap sejak dalam kandungan.

Hal itu disebabkan kualitas udara yang menjadi beracun pada kabut asap dapat menyaring pasokan oksigen yang teralirkan pada janin.

Baca juga: Kebakaran Hutan Indonesia 1997 Sebabkan Anak Tumbuh Lebih Pendek 3 Cm

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Terkini Lainnya

BPOM Rilis 76 Obat Tradisional Tidak Memenuhi Syarat dan BKO, Ini Daftarnya

BPOM Rilis 76 Obat Tradisional Tidak Memenuhi Syarat dan BKO, Ini Daftarnya

Tren
Update Banjir Sumbar: Korban Meninggal 41 Orang, Akses Jalan Terputus

Update Banjir Sumbar: Korban Meninggal 41 Orang, Akses Jalan Terputus

Tren
Ini Penyebab Banjir Bandang Landa Sumatera Barat, 41 Orang Dilaporkan Meninggal

Ini Penyebab Banjir Bandang Landa Sumatera Barat, 41 Orang Dilaporkan Meninggal

Tren
Gara-gara Mengantuk, Pendaki Gunung Andong Terpeleset dan Masuk Jurang

Gara-gara Mengantuk, Pendaki Gunung Andong Terpeleset dan Masuk Jurang

Tren
Badai Matahari Mei 2024 Jadi yang Terkuat dalam 20 Tahun Terakhir, Apa Saja Dampaknya?

Badai Matahari Mei 2024 Jadi yang Terkuat dalam 20 Tahun Terakhir, Apa Saja Dampaknya?

Tren
5 Temuan Polisi soal Kondisi Bus yang Kecelakaan di Subang, Bekas AKDP hingga Rangka Berubah

5 Temuan Polisi soal Kondisi Bus yang Kecelakaan di Subang, Bekas AKDP hingga Rangka Berubah

Tren
Nilai Tes Online Rekrutmen BUMN Tiba-tiba Turun di Bawah Standar, Ini Kronologinya

Nilai Tes Online Rekrutmen BUMN Tiba-tiba Turun di Bawah Standar, Ini Kronologinya

Tren
Pakai Cobek dan Ulekan Batu Disebut Picu Batu Ginjal, Ini Faktanya

Pakai Cobek dan Ulekan Batu Disebut Picu Batu Ginjal, Ini Faktanya

Tren
7 Pilihan Ikan Tinggi Zat Besi, Hindari Kurang Darah pada Remaja Putri

7 Pilihan Ikan Tinggi Zat Besi, Hindari Kurang Darah pada Remaja Putri

Tren
Pendaftaran CPNS 2024: Link SSCASN, Jadwal, dan Formasinya

Pendaftaran CPNS 2024: Link SSCASN, Jadwal, dan Formasinya

Tren
6 Tanda Tubuh Terlalu Banyak Konsumsi Garam

6 Tanda Tubuh Terlalu Banyak Konsumsi Garam

Tren
BMKG Sebut Badai Matahari Ganggu Jaringan Starlink Milik Elon Musk

BMKG Sebut Badai Matahari Ganggu Jaringan Starlink Milik Elon Musk

Tren
Suhu di Semarang Disebut Lebih Panas dari Biasanya, Ini Penyebabnya Menurut BMKG

Suhu di Semarang Disebut Lebih Panas dari Biasanya, Ini Penyebabnya Menurut BMKG

Tren
Selalu Merasa Lapar Sepanjang Hari? Ketahui 12 Penyebabnya

Selalu Merasa Lapar Sepanjang Hari? Ketahui 12 Penyebabnya

Tren
Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 13-14 Mei 2024

Prakiraan BMKG: Wilayah yang Berpotensi Dilanda Hujan Lebat, Angin Kencang, dan Petir 13-14 Mei 2024

Tren
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com