Dugaan itu muncul dari hasil studi yang diterbitkan pada Kamis (19/10/2023) oleh para ilmuwan di National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA).
Studi itu menemukan hubungan antara gelombang panas laut di Laut Bering bagian timur dan hilangnya kepiting salju secara tiba-tiba yang mulai muncul dalam survei pada tahun 2021.
“Ketika saya pertama kali menerima data survei tahun 2021, pikiran saya tercengang,” kata penulis utama studi tersebut dan ahli biologi perikanan di NOAA, Cody Szuwalski, dikutip dari CNN, Kamis (19/10/2023).
“Semua orang hanya berharap dan berdoa bahwa ini adalah kesalahan dalam survei dan tahun depan akan ada lebih banyak kepiting,” imbuhnya.
Tahun itu adalah tahun pertama perikanan kepiting salju AS ditutup di Alaska.
Lantas, apa penyebab hilangnya kepiting salju di Laut Bering beberapa tahun belakangan ini?
Kepiting salju di alaska mati karena kelaparan
Dilansir dari Live Science, peneliti mengungkap bahwa suhu laut yang lebih hangat kemungkinan besar menjadi penyebab kepiting-kepiting tersebut mati kelaparan.
Hal ini lantaran, pada 2018, perairan di kutub antara Alaska dan Siberia pernah dilanda gelombang panas mematikan yang berlangsung selama dua tahun. Akibatnya, hal ini memicu suhu laut yang mencapai rekor tertinggi dan penurunan es laut yang bersejarah.
Kondisi yang "belum pernah terjadi sebelumnya" ini membuat populasi kepiting salju (Chionoecetes opilio) yang hidup di Laut Bering bagian timur kesulitan bertahan hidup dan mendadak "menghilang".
"Hilangnya populasi kepiting salju merupakan respons yang kuat terhadap gelombang panas laut," tulis para peneliti dalam studi tersebut.
Namun, alih-alih menyerah secara langsung pada suhu laut yang hangat, tampaknya kepiting-kepiting itu mati karena kelaparan, menurut para peneliti.
Jumlahnya menyusut drastis
Kepiting salju adalah krustasea kecil bercangkang bulat yang dapat hidup hingga 20 tahun di dasar laut dengan kedalaman kurang dari 200 meter. Spesies ini dipantau dan dikelola secara ketat di Laut Bering bagian timur karena nilai komersialnya sebagai makanan laut.
Para ilmuwan pertama kali menyadari penurunan drastis dalam jumlah kepiting salju selama survei pada tahun 2021. Mereka menemukan bahwa kepiting salju paling sedikit di landas kontinen Bering timur sejak survei dimulai pada tahun 1975.
Sementara itu, tidak ada survei yang dilakukan pada 2020 karena adanya pandemi virus corona, sehingga para ilmuwan baru menyadari kepiting-kepiting tersebut menghilang pada tahun berikutnya.
Namun hingga saat ini, penyebab penurunan populasi kepiting tersebut masih menjadi misteri.
Gelombang panas memengaruhi metabolisme kepiting
Dalam penelitian juga terungkap, suhu air hangat yang disebabkan oleh gelombang panas mungkin memengaruhi metabolisme kepiting dan meningkatkan kebutuhan kalori kepiting.
Penelitian sebelumnya menemukan bahwa kebutuhan energi kepiting salju meningkat dua kali lipat ketika suhu air naik dari 32 derajat menjadi 37,4 derajat Fahrenheit (0-3 derajat Celsius).
Lonjakan suhu ini setara dengan perubahan yang dialami kepiting salju remaja dari tahun 2017 hingga 2018 yang hidup di perairan dingin dan bermigrasi ke tempat yang lebih hangat saat mereka dewasa.
Peningkatan kebutuhan kalori kepiting salju tercermin dari perubahan ukuran tubuh antara 2017 dan 2018, dengan kepiting yang lebih kecil tertangkap selama survei setelah gelombang panas dimulai.
Selain itu, kepiting salju juga menjadi korban dari waktu yang buruk. Ini lantaran, pada saat gelombang panas terjadi, populasi kepiting di Laut Bering bagian timur melonjak.
Di mana, banyaknya populasi kepiting tersebut ditambah dengan kebutuhan kalori yang lebih tinggi terbukti menjadi faktor utama penyebab kematian mereka.
Sementara itu, faktor-faktor lain seperti pemangsaan oleh ikan kod Pasifik (Gadus macrocephalus), kanibalisme kepiting yang lebih kecil oleh kepiting yang lebih besar, penangkapan ikan, dan penyakit kemungkinan besar berkontribusi pada peristiwa kematian.
Akan tetapi suhu dan kepadatan populasi merupakan variabel utama dalam keruntuhan baru-baru ini, menurut penelitian tesebut.
Efek dari suhu laut yang meningkat dengan cepat dan gelombang panas yang lebih sering terjadi sebagai respons terhadap perubahan iklim sulit untuk diprediksi. Namun, kematian kepiting salju adalah contoh utama seberapa cepat prospek dapat berubah untuk suatu populasi.
Sementara itu, di masa depan kepiting salju di Laut Bering bagian timur sangat tidak pasti, karena mereka belum pulih dari peristiwa kematian.
"Masalah yang saat ini dihadapi di Laut Bering menjadi pertanda masalah yang harus dihadapi secara global," tulis para peneliti.
"Hilangnya kepiting salju akan menjadi pukulan telak bagi fungsi beberapa komunitas di pedesaan Alaska, seperti yang ada di Pulau St Paul, yang sangat bergantung pada pendapatan yang diperoleh dari penangkapan dan pengolahan kepiting salju," ungkapnya.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/10/20/183000265/kepiting-salju-menghilang-dari-lepas-pantai-alaska-apa-penyebabnya-