KOMPAS.com - Berbagai upaya dilakukan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta untuk mengatasi masalah polusi udara di ibu kota. Mulai dari kebijakan work from home (WFH) bagi aparatur sipil negara (ASN), penyemprotan air di jalan, dan modifikasi cuaca.
Diberitakan Kompas.com, Senin (28/8/2023), penyemprotan air dilakukan di beberapa ruas jalan ibu kota tiap dua kali sehari, yakni pada pukul 10.00 WIB dan 14.00 WIB menggunakan mobil pemadam kebakaran, mobil pengangkut air, dan di gedung-gedung tinggi.
Upaya itu juga tertuang dalam Instruksi Mendagri (Inmendagri) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Pengendalian Pencemaran Udara pada Wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) pada 22 Juli 2023.
Namun, penyemprotan air justru menuai pro dan kontra di kalangan pemerhati lingkungan hidup hingga akademisi.
Sebagian mengklaim bahwa upaya tersebut mampu mengurangi polutan udara di DKI Jakarta. Tetapi, sebagaian lainnya justu berkata sebaliknya.
1. DLH DKI Jakarta: Penyemprotan turunkan kadar polutan
Dikutip dari Kompas.com, Senin (28/8/2023), Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) DKI Jakarta, Asep Kuswanto mengatakan bahwa penyiraman air dari gedung-gedung tinggi di ibu kota menggunakan alat water mist lebih efektif ketimbang penyemprotan air di jalan dengan mobil.
Hal itu sebagaimana hasil dari penyemprotan yang dilakukan lewat gedung tinggi Pertamina.
"Jadi kami melakukan penyemprotan dari atas gedung Pertamina dan di bawahnya langsung diukur dengan alat PM 2,5," kata Asep.
Hasilnya, papar dia, terjadi penurunan kadar polutan PM 2,5 di sekitar gedung Pertamina setelah penyiraman air dari atap menggunakan alat water mist.
Asep juga mengatakan, data resmi efektivitas pemanfaatan water mist menekan polusi udara itu akan disampaikan dalam rapat koordinasi dengan pemerintah pusat.
Penjabat Gubernur DKI Jakarta Heru Budi Hartono mengatakan pihaknya telah mendengar kritik terkait penyemprotan air tersebut.
Menanggapi hal tersebut, dia mengatakan bahwa salah satu negara di ASEAN telah melakukan hal itu untuk mengatasi polusi.
"Ya dikritik kan karena ada PM 10 terpecah jadi PM 2.5. Saya tahu itu, tapi di salah satu kota di ASEAN melakukan itu (penyemprotan) dan memang beda situasi mungkin ya. Tapi mereka melakukan itu," kata dia, dilansir dari Kompas.com, Senin.
Eks Wali Kota Jakarta Utara itu mengaku bakal menghentikan upaya penyemprotan jalan apabila hasil evaluasi membuktikan bahw aupaya tersebut tidak efektif.
3. Pakar: Tidak ada manfaat dan berdampak pada kesehatan
Pakar Epidemiologi dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKMUI) Pandu Riono mengungkapkan bahwa upaya penyemproan air ke jalan justru dinilai merugikan.
"Tidak ada manfaatnya, bahkan potensial merugikan," ucapnya, dikutip dari Kompas.com, Senin.
Dia menjelaskan, penyiraman dengan cairan bertekanan tinggi itu justru akan membuat polutan mengalami aerolisasi yang berbahaya bagi kesehatan.
"(Penyemprotan) cairan dengan tekanan tinggi pada udara polusi, maka polutan akan alami aerolisasi yang memudahkan berdampak pada kita kalau terhirup," lanjut dia.
Selaras dengan Pandu, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) Budi Haryanto juga mengatakan bahwa penyemprotan air hanya akan memindahkan polusi.
"Tidak efektif, karena kalau kita lihat polutan udara yang menyebabkan polusi itu berada di mana-mana, dari yang berat, yang terlihat partikel debunya sampai tidak terlihat, seperti gas-gas menyebar, ada di mana-mana tidak hanya di jalan raya," ucap dia.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin menyatakan bahwa penyemprotan jalan tidak efektif untuk mengatasi polusi udara. Upaya itu hanya memindahkan polusi dari satu tempat ke tempat lain.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Maxi Rein Rondonuwu menyebutkan bahwa penyemprotan air hanya efektif untuk skla kecil di sektor industri.
"Ini masih perdebatan. Kalau skala besar, ahli tidak menyarankan karena itu tidak efisien," kata Maxi, dilansir dari Kompas.com, Senin (28/8/2023).
5. Peneliti BRIN: Penyiraman memperparah polusi
Diberitakan sebelumnya, peneliti Badan Riset Inovasi Nasional Edvin Aldrian telah memperingatkan soal penyiraman air untuk mengurangi polusi udara di Jakarta tersebut.
Dia menjelaskan bahwa penyemprotan air dikhawatirkan akan mengangkat polutan bersama uap dari air.
"Ini karena disemprot pada situasi tertentu dengan waktu tertentu, air yang di tempat itu akan naik lagi. Air itu bisa naik lagi karena menguap," terang dia.
Edvin juga mengatakan bahwa ada riset yang menyimpulkan bahwa penyiraman jalan justru berpotensi memperparah polusi.
"Saya mengkhawatirkan karena ada catatan yang dari China atau Jepang gitu. Dia kan menyimpulkan begitu karena kalau sekali siram saja enggak efektif," kata dia.
Kendati demikian, Edvin menambahkan bahwa penyemprotan air bisa lebih efektif untuk mengurangi polusi jika dilakukan secara mssif dengan durasi yang panjang seperti hujan.
6. Walhi: Jangkauan terbatas
Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Suci Fitriah Tanjung mengatakan, penyemprotan air di jalan hanya menjangkau polusi udara di area terbatas.
"Skala kecilnya menyiram area yang mudah dijangkau masyarakat dengan alat sederhana, atau water canon," kata Suci kepada Kompas.com, Jumat (25/8/2023).
Padahal, polutan udara di DKI berada pada posisi ketinggian yang tidak bisa dijangkau dengan penyemprotan air menggunakan mobil.
"Jadi, logikanya hanya akan membilas polutan di udara. Ini sifatnya tentu bukan solusi yang bisa dirasakan lebih lama," paparnya.
(Sumber: Alinda Hardiantoro, Tria Sutrisna, Muhammad Isa Bustomi, Fika Nurul Ulya, Abdul Haris Maulana | Editor Rizal Setyo Nugroho, Irfan Maullana, Icha Rastika, Abdul Haris Maulana, Ambaranie Nadia Kemala Movanita).
https://www.kompas.com/tren/read/2023/08/29/102900065/pro-kontra-penyemprotan-air-untuk-tangani-polusi-udara-jakarta