KOMPAS.com - Polemik terkait pelaksanaan shalat Idul Fitri di lapangan sempat mengemuka menjelang Lebaran tahun ini.
Polemik tersebut muncul setelah Pemerintah Kota Sukabumi dan Pekalongan disebut tidak mengizinkan penggunaan lapangan milik pemda untuk pelaksanaan shalat Id pada Jumat (21/4/2023).
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengatakan, persoalan tersebut sudah selesai.
"Sudah diselesaikan ya. Pertama yang di Sukabumi itu saya kira hanya salah persepsi publik. Sama dengan yang di Pekalongan, saya sudah turun tangan ke sana, koordinasi dengan Kemenag dan pemda,” katanya dikutip dari Kompas.com Selasa (18/4/2023).
Hari raya Idul Fitri pada tahun ini berpotensi berbeda. PP Muhammadiyah telah menetapkan Lebaran 2023 jatuh pada Jumat, 21 April 2023.
Sementara pemerintah baru akan menggelar sidang isbat untuk menentukan 1 Syawal 1444 H pada Kamis (20/4/2023).
Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) memprediksi Idul Fitri 2023 akan berbeda antara Muhammadiyah dan pemerintah.
Awal mula shalat id di lapangan
Pelaksanaan shalat Idul Fitri di lapangan atau tanah lapang bukan hal yang baru.
Pada Idul Fitri tahun-tahun sebelumnya, shalat Id di sejumlah daerah digelar di lapangan.
Dilansir dari laman Muhammadiyah, shalat Id di tanah lapang pertama kali dilakukan oleh Muhammadiyah pada 1926 di alun-alun utara Keraton Yogyakarta.
Mulanya, menggelar shalat Idul Fitri di tanah lapang tidak lazim dilakukan dan mendapat pertentangan.
Namun, kini pelaksanaan shalat Id di lapangan telah diterima dan menjadi hal yang lumrah.
Alasan pelaksanaan shalat id di lapangan
Masih dari sumber yang sama, pelaksanaan shalat Idul Fitri di lapangan merujuk pada hasil keputusan Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya.
Dikutip dari Muhammadiyah dalam Perspektif Sejarah, Organisasi, dan Sistem Nilai (2019), keputusan itu bermula dari kritikan seorang tamu asal negeri India pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim antara 1923-1933.
Saat itu, tamu tersebut memprotes mengapa Muhammadiyah menggelar shalat Id di Masjid Keraton Yogyakarta.
Menurutnya, Muhammadiyah yang telah memposisikan diri sebagai gerakan Tajdid (pencerahan) sehingga seharusnya melaksanakan shalat Id di tanah lapang.
Hal itu sebagaimana telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW.
Penggunaan Masjid Keraton sebagai tempat shalat Idul Fitri Muhammadiyah sendiri tidak lepas dari bentuk penghormatan Muhammadiyah kepada Sultan Hamengkubuwono VII.
Saat itu, Sultan mengizinkan usulan Kiai Ahmad Dahlan agar Muhammadiyah diperbolehkan berbeda tanggal perayaan hari besar Islam dengan Keraton.
Sebab, Muhammadiyah memakai sistem hisab dan kalender Hijriyah dalam menentukan Hari Raya.
Berbeda dengan Keraton yang memakai penanggalan tradisional Jawa atau Aboge.
Dilakukan di hingga kini
Ulama Muhammadiyah kemudian membicarakan keputusan pelaksanaan shalat Id di lapangan pada 1926.
Hasilnya, berbagai konsul dan cabang Muhammadiyah di seluruh Indonesia sepakat untuk menggelar shalat Id di lapangan pada tahun-tahun berikutnya bahkan hingga kini.
https://www.kompas.com/tren/read/2023/04/19/103000065/awal-mula-shalat-idul-fitri-digelar-di-lapangan-dan-alasannya