Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Soal Bagi-bagi Amplop Berlogo Partai di Masjid, Pengamat: Belum Ada Aturan Jelas Terkait Sosialisasi

Video tersebut diunggah akun ini pada Minggu (26/3/2023). Dalam unggahannya, terlihat para jamaah di salah satu masjid di Sumenep, Jawa Timur mendapatkan amplop merah dengan logo PDI Perjuangan.

Lebih lanjut, pengunggah membagikan foto uang Rp 300.000 yang ada di dalam amplop itu.

Hingga Senin (27/3/2023), unggahan tersebut telah tayang sebanyak 2,6 juta kali, disukai 23.300 pengguna, dan di-retweet 5.389 kali.

"Incumbent (petahana) punya alasan melakukan kerja di daerah pemilihannya," ujarnya kepada Kompas.com, Senin (27/3/2023).

Meski begitu, Aditya tidak menampik kalau banyak kader partai politik yang berlomba-lomba mendekatkan diri ke rakyat menjelang masa penentuan calon legislatif (caleg) di Pemilihan Umum 2024.

Terlebih lagi, saat ini bulan Ramadhan, sehingga sebagian besar caleg dan parpol yang siap maju ke Pemilu 2024 berusaha keras mengenalkan diri dengan mengadakan bazar serta membagikan santunan, sembako, atau zakat.

"Ini semua terselubung memang. Tapi, semua tahu ini menuju Pemilu 2024," tambahnya.

Masa sosialisasi

Di sisi lain, menurut Aditya, saat ini tahapan Pemilu 2024 tengah memasuki tahapan sosialisasi partai politik. Artinya, parpol punya hak untuk mensosialisasikan keanggotaannya di Pemilu 2024.

"Masa kampanye itu 75 hari, dari 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024," ujarnya.

Dengan alasan ini, wajar jika ada partai yang melakukan berbagai cara untuk mengenalkan diri kepada masyarakat.

Selama tidak ada kata "mencoblos", maka tindakan yang dilakukan adalah sosialisasi, bukan kampanye.

Menurutnya, siapapun bisa melakukan sosialisasi untuk mengenalkan partainya masuk sebagai peserta pemilu. Namun, masalahnya, ia mengungkapkan bahwa undang-undang tidak mengatur masa sosialisasi ini dengan jelas.

Tidak ada regulasi

Aditya mengungkapkan, tindakan yang dilakukan kader partai tersebut dapat disebut sebagai kampanye abu-abu.

Ini karena mereka belum melakukan kampanye sesuai waktu tahapan pemilu, tapi seolah melakukannya dengan mengatasnamakan sosialisasi.

Sayangnya, menurut Aditya, tidak ada aturan dalam undang-undang yang menjelaskan bagaimana masa sosialisasi parpol dijalankan.

Menurutnya, UU tentang Pemilihan Umum tidak mengatur masa sosialisasi parpol. DPR juga tidak mau mengganti aturan ini. Padahal, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) harus tunduk dengan UU.

"Bawaslu juga jadi tidak punya gigi karena dasar hukumnya memang tidak ada," tambahnya.

Sementara itu, KPU memang mengatur masa sosialisasi ini dalam Peraturan KPU No. 33 Tahun 2018. Namun menurutnya, aturan ini belum cukup untuk mengatur masa sosialisasi dari parpol.

"Karena secara substansi, ya masa sosialisasi parpol beririsan dengan kampanye. Makanya membingungkan," tambahnya.

Aditya mengungkapkan, saat parpol ditetapkan sebagai peserta Pemilu, seharusnya partai memiliki hak melakukan kampanye. Kenyataannya, waktu antara penetapan peserta pemilu dan kampanye diisi dengan masa sosialisasi parpol.

"Seharusnya, ya kampanye saja sampai hari H Pemilu, bukan sosialisasi. Meski belakangan, caleg-nya masuk," tambahnya.

Dengan begitu, menurut Aditya, waktu tersebut bisa menjadi lebih leluasa digunakan bagi siapapun yang melihat pelanggaran peserta Pemilu dan ingin melaporkannya.

Sementara itu, terkait tindakan Said Abdullah, Aditya menilai bahwa Bawaslu telah melarang kampanye dilakukan di rumah ibadah.

"Namun, akun anonim @PartaiSocmed membuat framing menyudutkan seolah-olah yang bersangkutan (pengurus PDIP) melakukan money politics sehingga melakukan terusan ke Bawaslu RI," kata Said.

Said mengaku, pihaknya rutin membagikan sembako dan uang kepada warga fakir miskin sejak 2006 sebagai zakat mal.

“Jadi kalau itu dikesankan money politics, tentu salah alamat. Saya perlu sampaikan seterang-terangnya, setiap reses saya menerima uang reses selaku anggota DPR," kata dia.

Masa reses adalah waktu ketika anggota DPRD, seperti Said, melakukan kunjungan ke daerah pemilihannya untuk menjalankan tugas-tugas sebagai wakil rakyat.

Menurut Said, uang itu ia bagikan sepenuhnya ke rakyat dalam bentuk bantuan dan sembako sebagai bagian dari akuntabilitas publik.

Adapun logo PDIP segaja dipasang di amplop sebagai bentuk usaha pada kader partai itu dalam bergotong royong membagikan zakat mal.

"Kita tentukan dulu (jenis pelanggarannya), karena pada saat ini belum masa kampanye. Tahapan saat ini adalah tahapan sosialisasi (partai politik peserta pemilu)," ujar Ketua Bawaslu RI Rahmat Bagja.

Sesuai Peraturan KPU Nomor 33 Tahun 2018, peserta pemilu saat ini hanya boleh melakukan sosialisasi secara internal tanpa mengandung unsur-unsur kampanye, seperti memaparkan visi dan misi, menampilkan citra diri, dan mengajak memilih.

Bawaslu RI juga telah mewanti-wanti peserta Pemilu 2024 untuk tidak memanfaatkan bulan Ramadhan untuk kegiatan politik praktis yang melanggar aturan, termasuk berkampanye di masjid.

Politik uang dan kampanye di tempat ibadah merupakan tindak pidana pemilu. Pelanggarnya akan dikenai sanksi penjara paling lama 2 tahun dan denda maksimum Rp 24 juta sesuai Pasal 280 Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.

https://www.kompas.com/tren/read/2023/03/28/063000965/soal-bagi-bagi-amplop-berlogo-partai-di-masjid-pengamat--belum-ada-aturan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke