Banyak pihak harap-harap cemas terhadap hasil pertemuan itu. Terlepas dari apa hasil pertemuan, dunia mencatat pertemuan di Bali itu adalah forum pertama di mana Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, Antony Blinken dan sekutu Barat-nya menghadiri pertemuan internasional bersama Menlu Rusia, Sergey Lavrov.
Dalam takaran kerja diplomasi, mempertemukan dua seteru bukan pekerjaan mudah. Perlu kesabaran dan keteguhan, sekaligus keluwesan. Dalam konteks konflik Rusia-Ukraina, sejak awal sudah terbaca oleh publik bahwa ada keterbelahan di antara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ada pro dan kontra. Keterbelahan opini juga terjadi dalam wacana kehadiran Presiden Rusia, Vladimir Putin, dan Presiden AS, Joe Biden, di KTT G20 November nanti.
Bahkan banyak pihak berspekulasi, akibat perbedaan sikap yang diametral, pertemuan tingkat menlu yang sekarang berlangsung ini pun tidak akan terjadi. Tetapi ternyata semua menlu G20 hadir. Bahwa sekarang ini dunia menyaksikan semua menlu G20 hadir di Bali, itu sudah merupakan capaian diplomasi Indonesia.
Dua elemen kerja diplomasi
Kerja diplomasi memiliki dua elemen penting: prosedur dan substansi. Dalam hal prosedur, diplomasi itu intinya adalah tata cara dalam melakukan komunikasi dan dialog. Pakar komunikasi sering mengatakan, dalam penyelesaian konflik, jika ada komunikasi antara dua pihak berseteru itu berarti setengah pekerjaan selesai.
Sebelum AS dan sekutunya serta Rusia memutuskan hadir, bisa dipastikan Menlu Retno Marsudi dan mesin diplomasinya bekerja dalam senyap: melobi dan meyakinkan rekannya untuk hadir di Bali. Dalam pergaulan internasional Indonesia terlanjur dikenal sebagai negara yang konsisten dengan prinsip non-blok dan bebas aktifnya. Dengan prinsip itu Indonesia dianggap ikhlas dalam menengahi konflik, honest broker, sehingga menuai trust, kepercayaan.
Dengan citra seperti itulah Indonesia menjalankan diplomasinya. Mempersatukan yang terbelah, medekatkan yang terpisah. Itu bisa dilakukan karena ada komunikasi dan dialog untuk musyawarah mencapai mufakat. Kemampuan untuk meyakinkan sahabat dengan cara dialog dan musyawarah itu adalah DNA diplomasi Indonesia. Dari mana DNA itu berasal-muasal? Tiada lain, itu adalah derivasi nilai musyawarah dan mufakat seperti dititahkan oleh sila ke-4 Pancasila.
Dalam berapa tahun terakhir multilateralisme dalam ancaman. Beberapa negara meninggalkan kesepakatan multilateral. Multilateralisme sejatinya forum untuk menyelesaikan masalah bersama melalui dialog dan musyawarah untuk mencapai mufakat. Tatkala Menlu AS dan Menlu Rusia mau hadir di Bali, boleh jadi itu hasil dari pendekatan Indonesia yang memang menggunakan pendekatan dialog dan musyawarah.
Dialog dan musyawarah bukan barang baru bagi Indonesia. Budaya dialog dan musyawarah pun sudah jadi DNA bangsa Indonesia, seperti termaktub dalam sila ke-4 Pancasila. Nilai itulah yang kini terefleksi dalam diplomasi Indonesia di G20 Bali. Mulanya kedua seteru tak sudi bertemu, kini keduanya berada dalam satu forum di Bali.
Isu krisis pangan
Pilihan isu krisis pangan global sungguh tepat waktu. Akibat konflik Rusia-Ukraina, rantai pasok pangan dunia mengalami disrupsi akibat diblokadenya jalur transportasi laut di Laut Hitam oleh Rusia. Akibatnya harga pangan dunia naik dan terjadi inflasi.
Para elite berperang demi kekuasaan dan kepentingan. Tetapi di mana pun perang terjadi pada akhirnya rakyat jua yang menderita tak terperi. Di sini nurani kemanusiaan terusik. Indonesia mengangkat isu krisis pangan global didorong oleh rasa kemanusiaan ini, seperti disabdakan sila ke-2 Pancasila.
Ketika AS dan sekutu Barat-nya bersama Rusia dan anggota G20 lain hadir di Bali, sejatinya dunia menyaksikan Indonesia sedang memainkan jurus diplomasinya yang “sangat Indonesia”, khas budaya Nusantara, yaitu menyelesaikan masalah melalui dialog dan musyawarah dengan nilai kemanusiaan. Itulah sejatinya diplomasi yang dituntun oleh nilai-nilai luhur Pancasila.
https://www.kompas.com/tren/read/2022/07/09/094513965/diplomasi-pancasila-di-g20-bali