Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Salin Artikel

Filosofi Hidup dan Berkarya Layaknya Spons ala Eko Nugroho

SIKAP atau perilaku manusia dapat dianalogikan sebagai "spons". Artinya, kita melalui proses untuk menyerap setiap peristiwa yang disaksikan di lingkungan sekitar, kemudian menginternalisasi segala perasaan dari pengamatan tersebut. Selanjutnya kita mengambil tindakan.

Inilah prinsip hidup yang dijalankan seorang Eko Nugroho, seniman asal Yogyakarta yang dikenal dengan karya seni kontemporer. Ia mengungkap sikap hidup layaknya spons yang menjadi siasat agar diri maupun karya seninya tetap berakar dan relevan.

Ciri khas dalam setiap karyanya, Eko selalu menampilkan figur tertutup dengan mata yang mengintip. Inilah yang dimaksudnya sebagai awal mula dan merupakan buah dari proses "menjadi spons" dari peristiwa yang ia saksikan dalam hidupnya: Bom Bali.

"Belum fix banget mata waktu itu, masih tentang sosok yang tertutup," tutur seniman kelahiran 1977 ini.

"Waktu itu saya tertarik bagaimana sebuah ideologi ini bisa mengabaikan manusia, bisa mengabaikan tetangganya, bisa mengabaikan keluarganya, bisa mengabaikan temannya," tambahnya.

Karakter yang ia ciptakan awalnya berupa superhero, prajurit berpedang, monster, serta figur ekstem lainnya. Penggambaran ini adalah ekspresi meneror secara visual atas situasi yang jauh dari rasa damai pada masa-masa itu.

Visual tersebut hadir secara repetitif pada karya-karya Eko selanjutnya. Lama kelamaan, bentuknya tereduksi menjadi mata.

Makna dari simbol ini adalah keadaan di mana orang-orang hanya melihat dan menyimpan pikirannya, alih-alih berdiri untuk memperjuangkan hal baik atau melakukan tindakan baik kala dihadapi oleh situasi yang mengintimidasi.

Padahal, Eko menilai, generasi saat ini adalah generasi yang paling cerdas karena memiliki segala ilmu dan informasi.

"Sebagai manusia ya kita ini memang enggak bisa lepas dari antara hitam dan putih, baik dan buruk. Bisa dibilang kita ini bisa jadi Tuhan kita sendiri, dan juga iblis kita sendiri. Bagaimanapun juga kita adalah monster sebenarnya, kita monster diri kita sendiri," kata perupa yang pernah berkolaborasi dengan merek Louis Vuitton ini.

Melatih kepekaan

Keberlangsungan karya bagi para seniman tidak dapat dipisahkan dari sumber inspirasi yang terus mengalir. Eko mengaku, kepekaannya dalam menangkap inspirasi dari kehidupan sehari-hari memiliki kaitan dengan latar belakang tempat tinggalnya semasa muda, yakni di sebuah perkampungan yang padat dan lusuh.

Walau banyak hal yang telah berubah di kampungnya, hingga saat ini warga di sana memiliki kebiasaan menarik yaitu berkumpul dan bercengkrama pada titik-titik tertentu.

Bagi Eko, kebiasaannya dalam mendengar cerita menjadi bekal untuk mengetahui beragam fenomena yang terjadi di sekitar.

"Serapannya itu kamu enggak perlu tanya, tapi kamu dengar aja. Selama kita bisa menyerap dan memikir dan "ini menarik" gitu, "itu penting" gitu, pemikiran itu sebenarnya," ucap Eko.

Buktinya, salah satu karya Eko terinspirasi dari petani di lingkungannya yang harus menghadapi kenyataan bahwa anak dan cucunya tidak lagi mau mengurus sawah.

Dalam banyak kasus, segala bentuk inspirasi tersebut akan ia serap terlebih dahulu, dipilah, lalu ditransformasikan menjadi visual, kalimat, pesan, atau simbol-simbol ekspresi lainnya.

"Kalau bagi saya di mana pun saya ditempatkan, saya berada, saya akan menyerap. Itu adalah ide karena saya enggak akan kehabisan. Saya selalu bilang bahwa ide saya dari sekitar saya," katanya.

Menyukai sekolah

Dahulu, ketika banyak anak sepantaran yang putus pendidikan, Eko justru menyukai sekolah. "Saya selalu enggak beruntung ketika main layangan. Saya orang yang enggak bisa ngunduh layangan. Bahkan menaikkan layangan agak susah buat saya. Itu sering diejek," tutur Eko saat mengilas balik masa kecilnya.

"Yang kedua, main gambar wayang, umbul. Saya enggak punya keahlian itu. Main kartu, saya enggak punya keahlian untuk bagaimana strategi agar menang," imbuh Eko. Ia lalu menyadari bahwa satu-satunya aktivitas yang menyenangkan dirinya adalah menggambar.

Oleh karena itu, Eko mulai mengeksplorasi berbagai medium untuk menuangkan kreativitasnya. Mulai dari buku pelajaran hingga tembok atau halaman milik orang. Tidak jarang, ia mendapat omelan akibat kegiatannya tersebut.

Lulusan Institut Seni Indonesia Yogyakarta ini berkata, melalui sekolah ia mendapat hal-hal yang tidak didapatkannya di lingkungan tempat ia tinggal. Begitu tinggi antusiasme Eko terhadap ilmu pengetahuan, ia menganggap ancaman yang paling ditakuti ialah larangan untuk bersekolah.

"Kan saya pernah mbeling nih, nakal. Main, enggak pulang, terus dicari, terus geger semua sekeluarga. "Kalo kamu gitu, ngumpulnya sama anak-anak gitu, kamu enggak usah sekolah". Saya nangis."

Dari sana, ia menyadari bahwa hal yang ia takutkan adalah kesempatan untuk terus mencari tahu, yang tidak lain adalah melalui sekolah. Selama menjadi seniman, Eko merasakan manfaat dari adanya insting untuk mencari tahu, sebagaimana yang ia jelaskan melalui analogi spons.

Cerita ini dikutip dari episode ke-9, season dua siniar BEGINU bertajuk Eko Nugroho, Seni Jalanan, Spons, dan Filsafat Ember Bocor yang memuat perbincangan antara Eko Nugrono dan Wisnu Nugroho, jurnalis, penulis, dan pemimpin redaksi Kompas.com. Dengarkan kisah selengkapnya di Spotify. Klik di sini untuk mendengarkan.

https://www.kompas.com/tren/read/2021/11/26/090000865/filosofi-hidup-dan-berkarya-layaknya-spons-ala-eko-nugroho

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke